RUMAH buruh kereta api, Kasim alias Harjomartono, di Kampung Sambeng dekat Stasiun Solo Balapan, pada Senin Pon 22 November 1965, sedari bakdal Isya’, tampak sepi. Lampu pijar di depan pintu rumah itu, agak sedikit membantu terang namun tak mampu membuang kesuraman malam itu.
Bulan purnama telah lewat dua hari. Bertepatan dengan 17 Rajab 1385 H, sebentar nanti pukul 23.00 bulan masih akan membulat lonjong di langit Kota Solo yang mulai galau.
Menjelang dan sesudah 22 Oktober 1965, Solo nampak rusuh. Konflik sosial menunjukkan eskalasi sehingga di Solo diberlakukan jam malam.
Baca juga: Fatahillah Sang Pemenang (2): Strategi Menghadapi Portugis
Pertengkaran dan perkelahian serta penculikan antar-anggota dan simpatisan PKI berhadapan dengan kelompok Nasionalis dan Islam – khususnya Muhammadiyah – di kampung-kampung kian meningkat.
Beberapa hari sebelum kedatangan 2 batalyon pasukan RPKAD dari Jakarta dan disusul 1 Brigade (4 Batalyon 411,412,413 dan 414) pimpinan Letkol Yasir Hadibroto pada 22 Oktober 1965, terjadi pembunuhan terhadap 19 orang orang yang dicurigai melawan PKI di Kampung Sewu kota Solo, pinggir Bengawan Solo. Rupanya kekuatan PKI semakin berani.
Diketahui bahwa Walikota Solo Utomo Ramelan, kader PKI, beserta aparat sipil serta militernya telah menyatakan dukungan terhadap Dewan Revolusi Jakarta 30 September 1965. Bahkan DN Aidit, Ketua Central Comite PKI yang berjabatan negara sebagai Menko/Wakil Ketua MPRS telah berada di Solo sejak 2 Oktober 1965.
Selama awal Oktober sampai pekan terakhir November 1965, DN Aidit bergerak di segitiga basis kekuatan politik PKI: Solo- Klaten – Boyolali. Satu kota dan dua kabupaten tersebut merupakan garda terdepan massa PKI yang dapat diandalkan Aidit.
Di kawasan eks karesidenan Surakarta – terutama Kota Solo, Klaten dan Boyolali- pernah dilakukan survey kekuatan petani dan kepemilikan lahan (1964) yang diteruskan dengan aksi sepihak dengan dalih menegakkan Landreform dan Bagi Hasil Pertanian.
Pada Pemilu 1955, PKI menang telak di tiga kawasan ini. Di Solo, Klaten dan Boyolali, PKI adalah juara pertama disusul PNI, NU dan terakhir Masyumi.
Baca juga: Relevansi Peta Ideologis: Catatan Untuk Pilkada Jakarta
Dirincikan, Solo mendapat 76.283 dari 146.654 suara; Klaten 204.128 dari 387.640 suara dan Boyolali 145.028 dari 278.010 suara. Dua tahun kemudian, 1957-1958, pada Pemilu DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, terjadi pergeseran posisi juara pertama dari PNI jatuh ke tangan PKI.
Dalam atmosfir politik dan konfigurasi kekuatan politik yang didominasi PKI, maka tak aneh jika Aidit memilih “pindah” dari Jakarta ke Surakarta dan berpetualang Oktober – November 1965. Kepindahannya, dipicu dan sekaligus antisipasi atas selamatnya Jenderal Nasution dari pembunuhan malam jahanam 1 Oktober dinihari 1965.
Apalagi dibaca oleh DN Aidit dan komplotannya, bahwa 1 Oktober petang, Jakarta telah dikuasai Angkatan Darat yang dikendalikan oleh Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Jenderal Nasution berada di kelompok Soeharto yang menggerakkan RPKAD, kemudian mengirimkannya ke Jawa Tengah.
Tugas RPKAD di Jawa Tengah yang langsung di bawah Komandan Resimen Kolonel Sarwo Edi Wibowo, dilanjutkan oleh Brigade F (4 Batalyon) pimpinan Letkol Yasir Hadibroto. Semula brigade ini telah sampai di Pematangsiantar dalam rangka penyerbuan ke Semenanjung Malaka pada Konfrontasi Ganyang Malaysia.
Baca juga: Dinamika Palagan Politik Pilkada Jakarta
Tugas Brigade F/Yasir Hadibroto adalah menyapu bersih kekuatan PKI Jawa Tengah, khususnya di segitiga Solo, Klaten dan Boyolali. Inilah kawasan petualangan politik DN Aidit yang ingin membangun kekuatan kembali PKI. Kelak akan diteruskan CC PKI yakni Rewang, Ir Surahman kader CGMI/PKI yang menjadi Sekjen PNI, dan kawan-kawan di Blitar Selatan.
Pengejaran Aidit
Solo menjadi titik konsentrasi pengejaran Aidit selama akhir Oktober – November 1965. Pergerakan intelijen oleh Sriharto, Intel Hankam sejak 1964 yang ditanam di sebuah pabrik Karanganyar Surakarta, mulai memastikan ketepatan aksi dan ketelitian pengejaran.
Bulan bulat lonjong muncul di langit Solo pada Selasa Wage 22 November 1965/17 Rajab 1385 H pada jam yang menunjukkan angka 11.00 malam. Kesepian yang menyelimuti persembunyian DN Aidit di rumah Kasim di kampung Sambeng dekat Stasiun kereta api Solo Balapan, mulai terusik.
Sejumlah tentara Yon 411 dari Brigade F/Yasir Hadibroto mulai memasuki Sambeng atas saran Sriharto. Sedangkan Sriharto sendiri yang sering mendampingi DN Aidit di Surakarta mengajak ke rumah persembunyian yang lama yakni di rumah Kasim di Sambeng ini.
Selain pernah menyembunyikan Aidit di rumahnya sendiri, Sriharto sering bersama DN Aidit berkeliling dari Solo ke Klaten dan Boyolali. Di Delanggu – Klaten, DN Aidit menemui Pak Sis, Ketua Serikat Buruh Perkebunan Pabrik Karung Goni Delanggu, juga Pak Sutar, Ketua Pamong Desa Klaten yang sekaligus Lurah/ Kepala Desa Delanggu.
Baca juga: Seribu Wajah Muhammadiyah
Beberapa saksi mengungkapkan, DN Aidit berboncengan sepeda ontel masuk keluar desa. Namun terdapat juga pengawal naik Vespa Konggo, dibelakangnya berjauhan. Seringkali Aidit mengenakan sarung, berbaju putih dan berkopiah hitam.
Nampak usulan Sriharto diterima Aidit, bersembunyi kembali di rumah Kasim. Pada saat yang sama , Sriharto menyarankan segera kepung rumah Kasim yang Aidit berada didalam rumah itu.
Tentara gagal tak menemukan Aidit di rumah Kasim pada bakdal Isya’ itu. Kemudian Kasim dibawa ke kantor pos tentara tak jauh dari rumahnya.
Atas pengakuan Kasim pada integrosi , maka pada jam 23.00, tentara bersama Kasim sampai dirumah itu kembali. Yon 411 segera menyebar, di gang, sekeliling rumah Kasim.
Ketua CC PKI, Dipa Nusantara Aidit alias Achmad Aidit, balik menggertak : “Saya Menko, Wakil Ketua MPRS, utusan Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno. Saudara mau apa?”.
Letnan Ning Prayitno mengacungkan senjata seraya menggertak : ” Keluar dari persembunyian !! Rumah ini akan saya bakar. Ternyata, dari balik lemari terdengar sahutan. Rupanya yang menyahut adalah Aidit dan keluarlah ia dari balik lemari.
Ketua CC PKI, Dipa Nusantara Aidit alias Achmad Aidit, balik menggertak : “Saya Menko, Wakil Ketua MPRS, utusan Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno. Saudara mau apa?”.
Sambil menenangkan diri, Letnan Ning Prayitno anak buah Letkol Yasir Hadibroto, menjawab : ” Saya hanya menjalankan tugas “. Aidit menukasnya ” Baik, tetapi saya minta diperlakukan sebagai Menko”.
Bulan mulai condong ke Utara langit, senyap malampun telah memasuki pergantian hari. Jam telah menunjukkan pukul 02.30.
Kampung Sambeng yang semula dikepung beberapa jam, mulai ditinggalkan oleh Letnan Ning Prayitno bersama empat pasukan Yon 411 – Diponegoro yang keluar rumah membawa Aidit ke Loji Gandrung.
Beberapa saat, pria berbadan sedang, berkulit putih bermata tajam, kelahiran 30 Juli 1923 di Tanjungpandan Belitung, bernama Achmad bin Abdullah Aidit, beribukan Mailan itu adalah Menko, penerima Bintang Mahaputera Utama Agustus 1965 adalah Dipa Nusantara Aidit Ketua CC PKI.
Setelah diperiksa , sempat akan dibawa oleh kesatuan lain. Namun Letkol Yasir Hadibroto, bersikeras tetap akan dihadapkan sendiri ke Kodam Diponegoro Semarang, menjelang shubuh tiba.
Menjelang adzan subuh 23 November 1965, tiba di Boyolali. Melewati dialog singkat dan mendengarkan pidato Aidit selama sepuluh menit, di dekat sumur tua, Aidit terhempas oleh timah panas yang meluncur dari senjata api Owen milik Letkol Yasir Hadibroto.
Owen itulah yang menemaninya sejak melawan agresi militer 2 Belanda di Jogjakarta dan menumpas pemberontakan PKI/Musso, September 1948. Kini Owen ini juga, di Boyolali yang mengakhiri hidup DN Aidit gembong PKI pro PKC – RRC, di rembang pagi hari 23 November 1965.