Selasa yang Penuh Berkah
Ya Allah, Pengasih yang tiada tara,
Engkau cahaya di fajar Selasa.
Limpahkan ilmu yang menyejuk jiwa,
Agar terang jalan yang kami tempuh bersama.
Rizki halal mengalir berlimpah,
Seperti hujan yang menyubur tanah.
Jadikan amalan kami Engkau terima,
Sebagai bekal menuju surga-Nya.
Di pagi ini, pintu dimudahkan,
Segala urusan lancar berjalan.
Yang Engkau uji dengan sakit yang perih,
Angkat derita, kembalikan pulih.
Saudaraku, bangkit dan melangkah,
Sukses menanti dalam berkah.
Dengan ikhlas, doa dan usaha,
Semoga Allah ridha pada kita.
Jejak Muslim Produktif
Di ufuk fajar yang mulai terang,
Islam membimbing dengan cahaya gemilang.
Bukan hanya sujud dalam kesunyian,
Tapi beramal, berkarya, dan penuh ketekunan.
Selesai satu, janganlah diam,
Bergerak, melangkah, jangan terpendam.
Waktu berlalu bagai angin menghempas,
Jangan biarkan ia sia-sia lepas.
Dua nikmat yang kerap terlupa,
Sehat dan luang, mutiara berharga.
Gunakanlah untuk menanam benih,
Agar hidup tak berlalu perih.
Keseimbangan adalah kunci sejati,
Ibadah, kerja, dan hak berbagi.
Bukan sekadar mengejar dunia,
Tapi menyiapkan bekal ke surga-Nya.
Jauhi malas, tepis menunda,
Langkah besar dimulai segera.
Berlindunglah dari keluh dan takut,
Agar hidup tak hancur tergerus surut.
Sebaik-baik insan adalah pemberi,
Menyebar manfaat tanpa pamrih hati.
Berbuat, berkarya, tanpa letih,
Menjadi Muslim yang tak tertandingi.
Intelektual Genit
Aku dulu mengira ilmu itu menara,
semakin tinggi, semakin mulia.
Gelarnya panjang, katanya sukar,
rak bukunya menjulang ke langit yang samar.
Tapi hidup, dengan luka dan peristiwanya,
mengajarkan makna yang tak terduga.
Aku duduk di ruang dingin berpendingin,
mendengar kemiskinan dijelaskan kering.
Angka-angka melayang di layar lebar,
tanpa wajah, tanpa getar.
Teori mengalir tanpa nyawa,
seakan derita hanya data semata.
Lalu kulihat lelaki di gang sempit,
tangannya kasar, bajunya compang-camping.
Ia tak bicara tentang keadilan sosial,
tapi menyerahkan lembar terakhirnya tanpa berpikir.
Di sanalah ilmu yang sesungguhnya,
bukan sekadar kata, tapi nyata.
Bukan menara yang jauh di angkasa,
tapi tangan yang menggenggam sesama.
Kini aku sadar, gelar tak berarti,
jika tak ada hati yang peduli.
Ilmu tak sekadar di kepala,
ia harus bergerak menjadi laku nyata.
Hormatlahlah mereka yang berdiri tegak,
bukan demi kuasa, tapi demi rakyat.
Sementara aku? Ah, masih sibuk bersolek di layar,
cuma intelektual genit—haus sorot dan gemar pamer.
Kutukan Intan Cempaka
Di tanah basah, di lumpur pekat,
Mat Sam menggali dengan harap kuat.
Hari demi hari, lelah tiada,
mencari cahaya di balik tanah.
Lalu takdir berbisik lirih,
pada Kamis yang tak terperih.
Kilau biru kemerahan menyala,
intan raksasa muncul ke dunia.
Cempaka bersorak, negeri gegap,
namun di balik gemilang yang hinggap,
ada tangan-tangan mengulur licik,
mengambil hak dengan dalih klasik.
Dibawa ke kota, dijanjikan makmur,
tapi yang tersisa hanya kabut yang kabur.
Intan menghilang, lenyap tak bersisa,
terkubur dusta dalam brankas negara.
Sementara Mat Sam tetap menggali,
bukan intan, tapi nasib sendiri.
Miskin tak berubah, harap pun pupus,
di tanah sendiri, ia terusik dan terus.
“Saya tak menyesal,” bisiknya pedih,
“hanya menyesal negeri ini begitu letih.
Tanah subur, kaya raya,
tapi rakyatnya tetap nelangsa.”
Kini Mat Sam telah tiada,
namanya redup, dilupa massa.
Hanya kisahnya yang terus merintih,
tentang harta yang berubah menjadi kutuk perih.
Sebab emas dan intan bukan kutukan,
yang laknat hanyalah tangan-tangan,
yang menjarah negeri, merampas mimpi,
dan menjadikan rakyat sendiri pengungsi.
Membingkai Syukur dengan Qana’ah
Di hamparan takdir yang Allah ukir,
Ada rizki yang datang mengalir,
Sedikit atau banyak tak perlu getir,
Sebab syukur membuatnya hadir.
Qana’ah bak permata bersinar terang,
Menyejukkan hati, menghapus gersang,
Tak sibuk mengukur apa yang kurang,
Sebab ridha adalah kemenangan yang lapang.
Si fakir yang hatinya kaya,
Lebih mulia dari harta berlimpah buta,
Tak tergoda kilau dunia fana,
Karena cukup baginya janji Sang Maha.
Puasa mengajarkan rasa yang cukup,
Menahan dahaga, menekan gelup,
Menyadari dunia hanyalah serupa pelup,
Yang tak kan abadi meski tampak hidup.
Syukur dan qana’ah, dua yang padu,
Bagai mentari dengan sinarnya yang syahdu,
Yang merasa cukup, hatinya sendu,
Bukan oleh kurang, tapi nikmat yang tak semu.
Maka wahai hati, belajarlah ridha,
Karena dunia hanya sementara,
Yang qana’ah tak kan tersiksa,
Sebab kekayaan sejati ada di jiwa.