JAKARTAMU.COM | Pengelola zakat harus memahami regulasi agar niat baik tidak berujung pada masalah hukum. Hal ini disampaikan Direktur Utama Akademi Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) Nana Sudiana SIP MM dalam seminar bertajuk Sukses Mengelola Program Ramadan di Aula Lantai 16 RS YARSI Jakarta, Sabtu (9/2/2025).
“Jangan sampai niatnya membantu namun akhirnya dikatakan penjahat karena tidak punya izin,” ujar Nana.
Dia menyoroti pentingnya pengelolaan zakat yang sesuai dengan regulasi agar tidak berpotensi menimbulkan persoalan hukum. Hingga saat ini, memang belum ada kasus panitia masjid atau musala yang diproses hukum atas penggelapan dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS).
“Memang sampai saat ini, belum ada panitia masjid atau musala yang dilaporkan atau diproses hukum karena penggelapan dana ZIS,” ungkap Nana.
Namun, ia mengingatkan pengumpulan zakat tanpa izin dapat menimbulkan risiko hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
UU Nomor 23 Tahun 2011 mengubah struktur Lembaga Amil Zakat (LAZ) menjadi subordinasi dari pemerintah, menggeser semangat kebersamaan dalam pengelolaan zakat menjadi sistem yang lebih tersentralisasi. UU ini juga memperketat syarat pendirian LAZ.
Lembaga yang mayoritas berbentuk yayasan harus bertransformasi menjadi organisasi masyarakat serta memperoleh rekomendasi dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan pejabat berwenang.
Ancaman sanksi pidana bagi pengelola zakat tanpa izin menjadi tantangan tersendiri bagi amil-amil tradisional. Pasal 38 dalam UU tersebut menyebutkan bahwa setiap orang dilarang mengumpulkan, mendistribusikan, atau mendayagunakan zakat tanpa izin dari pejabat berwenang. Sementara Pasal 39 menegaskan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikenai pidana penjara maksimal lima tahun dan/atau denda hingga Rp50 juta.
“Karena tumbuhnya lembaga zakat ini tanpa didampingi lembaga regulator yang bertugas sebagai pengawas, sangat mungkin ada lembaga-lembaga zakat yang hanya bertujuan mengeruk keuntungan dari pengumpulan dana zakat masyarakat, namun dengan transparansi dan akuntabilitas yang rendah,” tutur Nana.
Dampak dari regulasi ini pun cukup signifikan. Di satu sisi, terjadi peningkatan jumlah Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk amil berbasis masjid yang semakin menjamur. Namun, di sisi lain, lemahnya pengawasan bisa membuka celah bagi lembaga zakat yang tidak transparan dalam pengelolaan dana umat.
Kementerian Agama mengimbau masyarakat untuk menyalurkan zakat, infak, dan sedekah kepada lembaga yang telah memiliki izin operasional. Saat ini, terdapat 37 LAZ skala nasional, 33 LAZ skala provinsi, dan 70 LAZ skala kabupaten/kota yang telah memperoleh legalitas dari Kementerian Agama. Selain itu, ada 108 lembaga yang aktif mengelola zakat namun belum memiliki izin resmi.
“Ada juga 108 lembaga yang telah melakukan aktivitas pengelolaan zakat namun tidak memiliki izin legalitas dari Kementerian Agama,” kata perwakilan Kemenag.
Sebagai solusi, IZI menawarkan pendampingan kepada Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dalam mendirikan Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Dengan pendekatan profesional, IZI berharap pengelolaan zakat di masjid dan musala tidak lagi hanya dilakukan oleh panitia musiman, tetapi menjadi sistem yang lebih terorganisir dan akuntabel.