Oleh Tony Rosyid | Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
INDONESIA harus mengakui: Jokowi hebat. Setidaknya dalam strategi politik. Tidak genap dua periode jadi walikota Solo, Jokowi naik menjadi gubernur Jakarta. Kita tahu, di era Jokowi, Solo adalah kota kecil. penduduk Solo hanya sekitar 300 ribu. Dari kota kecil ini, Jokowi bisa membangun brand yang menasional, lalu mengantarkannya menjadi gubernur di Ibu Kota Jakarta. Sebuah kota metropolis yang menjadi estalase Indonesia.
Baru dua tahun menjadi Gubernur, Jokowi mencalonkan diri jadi presiden. Lawan Jokowi adalah seorang jenderal yang pernah malang melintang dan jadi menantu penguasa Indonesia selama 32 tahun. Namanya Prabowo Subianto. Pengalaman, logistik dan jaringan Prabowo jauh di atas Jokowi. Tapi, Jokowi berhasil menumbangkannya dan menjadi presiden RI. Jokowi menjadi presiden RI dua periode.
Tidak hanya Jokowi, Gibran, putra sulung Jokowi pun menjadi Walikota Solo. Kerja singkat dan terkesan mendadak, Gibran menggeser calon kuat yang semula direkomenasikan oleh DPC PDIP Solo yaitu Achmad Purnomo. Achmad Purnomo pun memutuskan untuk pensiun dini setelah rekomendasi calon walikota diberikan ke Gibran oleh DPP PDIP. Belum selesai jadi Walikota Solo, Gibran bergeser menjadi wakil presiden mendampingi Prabowo di pilpres 2024. Selain Gibran, menantu Jokowi yaitu Bobi Nasution juga menjadi Walikota Medan. Lalu dengan mudah mengalahkan Edy Rahmayadi, seorang incumbent dan mantan Pangkostrad di pilgub Sumatera Utara. Bobi sekarang jadi Gubernur Sumatera Utara 2024-2029.
Begitu juga dengan anak bontot Jokowi yaitu Kaesang. Anak muda yang sedang belajar cepat jadi pengusaha ini sukses mengambil PSI. Kaesang jadi ketua umum PSI.
Dari semua cerita ini menyimpulkan bahwa Jokowi tidak hanya mensukseskan dirinya, tapi juga keluarganya. Tulisan kali ini hanya menyoroti soal strategi Jokowi. Setuju atau tidak, inilah fakta objektifnya.
Pertanyaan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah apa strategi yang mengantarkan Jokowi dan anak-anaknya sukses berkuasa?
Pertama, Jokowi fokus membangun kekuatan di branding. Jokowi tampil beda. Jokowi memecah normalitas yang selama ini ditampilkan oleh para elit. Jokowi selamatkan pasar Klewer dari rencana penggusuran gubernur Jateng atas nama modernisasi. Jokowi buat mobil Esemka sebagai mobil nasional. Jokowi gemar masuk gorong-gorong. Jokowi membangun kesan dirinya sebagai wong cilik yang punya mimpi kebangsaan. Meskipun saat ini anda menertawakan itu semua. Di era itu, masyarakat Indonesia terkesima. Ini yang membuat Jokowi berhasil merebut hati rakyat dan secara cepat mengantarkannya ke kursi presiden. Kuncinya: Jokowi melawan normalitas dengan terobosan sederhana yang berhasil menghipnotis publik. Cara ini nampaknya sedang dicopy oleh Dedi Mulyadi, Gubernur Jabar dengan lebih dramatis.
Kedua, Jokowi menyiapkan influencer yang cukup kuat. Publik menyebutnya “buzzer”. Dengan anggaran yang cukup besar, Jokowi berhasil membeli para infuencer yang tidak hanya profesional, tapi juga “setengah gila” dalam kinerjanya. Terbukti, Jokowi menguasai ruang udara. Gaya kontra-normalitas terus dimainkan Jokowi, meski itu dianggap kampungan dan menabrak etika. Tapi, justru itu yang memancing perhatian publik dan menjadi menu sedap bagi buzzer untuk menggorengnya. Hasilnya? Jokowi selalu populer.
Ketiga, sebagai penguasa, Jokowi berikan jabatan dan logistik yang cukup besar untuk partai-partai politik, sekaligus menyandera ketumnya dengan berbagai kasus hukum. Mbalelo, ketum partai langsung diciduk atau diminta mundur. Kasus Airlanggar, ketum Golkar adalah contoh yang paling vulgar.
Dengan menguasai partai-partai politik, Jokowi leluasa mengatur anggota DPR. Semua UU yang diinginkan Jokowi, sukses di DPR. Termasuk UU Minerba, UU Omnibus Law dan revisi UU KPK. Tak ada hambatan, apalagi perlawanan. DPR RI: sami’na wa atha’na kepada Jokowi.
Keempat, Jokowi angkat para pejabat tinggi negara, termasuk di institusi hukum dari orang-orang yang tidak pernah berani membayangkan akan jadi pejabat tinggi negara. Jabatan mereka jauh melampaui ekspektasi hidup mereka. Mereka menjadi orang-orang yang die hard kepada Jokowi. “Tanpa Jokowi, saya tidak akan sampai pada posisi ini,” begitu kira-kira apa yang ada di kepala mereka.
Kelima, Jokowi siapkan ormas dan kelompok massa yang kuat untuk menghadapi setiap perlawanan dari oposisi. Tak ubahnya “body guard” yang setia membela Jokowi dalam keadaan apapun. Anda pasti sudah bisa menebak ormas apa dan kelompok mana yang selama ini dipakai Jokowi. Setelah Jokowi lengser, kontrak selesai dan logistik pun berhenti.
Keenam, Jokowi kuasai institusi hukum untuk mengendalikan setiap kasus. Dengan strategi ini, Jokowi kasuskan banyak tokoh yang dianggap mengganggunya. Di masa Jokowi, berapa banyak tokoh yang dipenjara dengan dakwaan UU ITE yang sejak awal sudah disiapkan Jokowi untuk membidik oposisi yang terlalu kritis. Sebagian tersangka ada yang meninggal di penjara. Sebagian lagi, ada yang dibantai di luar penjara. Kasus KM 50, meski sudah diratakan lokasinya, tapi jejaknya selalu akan menjadi sejarah bangsa ini.
Ketujuh, Jokowi lumpuhkan daya kritis para akademisi. Aturan pemilihan rektor dan dekan diubah. Masa Orde Baru hingga Orde Reformasi, rektor dipilih oleh senat universitas dan dekan dipilih oleh senat fakultas. Era Jokowi, senat universitas hanya bisa merekomendasikan calon rektor. Menag dan mendikbud yang menentukan siapa rektor yang akan dipilih. Sementara dekan dipilih langsung oleh rektor. Bukan dipilih oleh senat lagi.
Dengan dipilihnya rektor oleh menteri, daya kritis kampus jauh menurun. Kepedulian kampus atas berbagai problem bangsa juga menurun. Bukan hanya rektor, para pimpinan fakultas tak lagi bisa bersikap kritis kepada penguasa.
Kedelapan, Jokowi kendalikan media. Sumber biaya media dari iklan. BUMN menyumbang biaya yang cukup lumayan besar ke media melalui iklan. Kepada media kritis, apalagi oposisi, BUMN ketakutan untuk beriklan. Ketakutan ini juga diikuti oleh berbagai perusahaan-perusahaan besar swasta. Dengan strategi ini, hidup media yang kritis terhadap penguasa akan terancam. Tak ada pilihan lain bagi umumnya media, kecuali melunak. Bahkan sebagian terpaksa mendukung kekuasaan.
Kesembilan, Jokowi menghibur rakyat dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan pembangunan infrastruktur. Terutama jalan tol, bandara dan pelabuhan. Pembangunan infrastruktur era Jokowi dianggap ugal-ugalan, karena mengabaikan kemampuan finansial negara. Juga tidak ada dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Negara tekor dan punya hutang hingga 20 triliun yang akhir-akhir ini dibongkar. Tapi, di sisi lain, rakyat merasa mendapatkan manfaat secara instan terhadap pembangunan infrastruktur, terutama jalan tol dan BLT itu. Inilah yang jadi tema para buzzer Jokowi terus membuat iklan.
Inilah sembilan strategi Jokowi dalam mempertahankan, memperkokoh dan memperluas kekuasaannya. (*)