Dengan membatasi siswa bersekolah di wilayah tinggal mereka, kebijakan ini bertujuan untuk membuat pemeriataan kualitas sekolah secara alami. Tidak ada lagi stigma antara sekolah unggulan dan sekolah pinggiran. Pun dengan zonasi, siswa bisa menghemat biaya transportasi.
Sebagian orang tua merespons baik kebijakan zonasi karena memberikan kesempatan anak mereka bisa belajar di sekolah favorit. Tapi sebagian sebaliknya kebijakan ini menutup kesempatan anak mereka di sekolah favorit. Siswa yang terpaksa masuk ke sekolah terdekat juga kurang termotivasi belajar karena tidak dapat memilih sekolah yang mereka inginkan, terutama mereka yang merasa berprestasi.
Baca juga: Argumen Muhammadiyah Membolehkan Non-Muslim Mengajar di Perguruannya
Yang menarik kebijakan zonasi direspons banyak siswa atau orang tua untuk pindah tempat tinggal hanya demi mendapatkan sekolah yang mereka incar.
Pendidikan untuk Semua
Mu’ti menegaskan bahwa di bawah kepemimpinannya, Kemendikdasmen mengusung tagline Pendidikan untuk Semua. Ini berarti bahwa setiap warga negara anak berhak mendapatkan pendidikan sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 20/2023 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Intinya saya ini masih terus berbelanja masalah dan meminta berbagai masukan. Jadi kalau sekarang saya jawab WA agak lambat, ya jangan terus tidak memberikan saran. Tetap sampaikan saja saran-saran dan masukan,” kata Mu’ti.
Yang jelas, lanjut Mu’ti, paradigma pendidikan nasional mesti diubah. Pendidikan yang berorientasi pencapaian mesti ditinggalkan.
“Yang kita lakukan selama ini adalah surface learning. Ini harus diubah menjadi deep learning. Isinya triful, yaitu mindful, meaningful, joyful. Supaya para guru, di antaranya, tidak perlu kejar tayang harus menyelesaikan target pembelajaran siswa,” tutur Mu’ti.