JAKARTAMU.COM | Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mengingatkan umat Islam menjadikan Ramadan sebagai bulan untuk banyak berderma. Sebab berderma membuka banyak kemudahan dalam hidup, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al Lail ayat 5-10.
“Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan), dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan),” tutur Mu’ti menyitir Surat Al Lail ayat 5-10 saat memberikan ceramah Tarawih di Masjid Al-Falah, Bendungan Hilir, Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (25/3/25).
Mu’ti mengatakan, keyakinan adanya hari akhir dan balasan atas perbuatan manusia di dunia merupakan pembeda antara manusia yang beragama dan mereka yang tidak beragama. Manusia tidak beragama berkeyakinan bahwa hidup manusia hanya di dunia, tidak ada kehidupan setelah kematian.
Mereka berusaha untuk berfoya-foya dalam kehidupan di dunia karena merasa tidak ada konsekuensi apapun dari apa yang mereka lakukan. Sebaliknya orang-orang yang beriman, beragama berkeyakinan bahwa dunia ini tempat mencari bekal persiapan di akhirat.
Orang-orang yang mencari bekal untuk persiapan di akhirat, yang demikian itu menurut Mu’ti sebagaimana disebutkan dalam firman Allah akan diberikan kemudahan-kemudahan dalam kehidupannya. Ahli tafsir menjelaskan, baginya dibentangkan jalan yang mudah untuk mendapatkan kebahagiaan di surga.
Kenapa orang yang bertakwa itu dimudahkan urusannya? Nabi Muhammad memberikan tuntunan barang siapa yang memudahkan urusan sesama muslim, memudahkan urusan manusia lain, maka Allah menjadikan baginya urusannya menjadi mudah.
”Kalau kita mencoba memahami makna dari ayat-ayat Al-Qur’an, terutama kaitannya dengan puasa misalnya, Nabi bersabda, Barang siapa dia itu berpuasa, tidak makan tidak minum, tetapi tidak menigngalkan azzuur, tidak meninggalkan perkataan dosa, perkataan bohong, perbuatan jahat, maka Allah tidak menghitung sama sekali bahwa dia itu berpuasa dengan tidak makan dan tidak minum, dalam keadaan lapar dan dahaga,” tutur Mu’ti.
Mu’ti menjelasan lebih lanjut makna azzuur seperti disampaikan Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasy-syaf. Ia menjelaskan, ‘la yashadu al-zuur’ berarti menjauhi, meninggalkan perbuatan batil dan dosa (khatha). Walaupun tidak melakukan, bergabung, menyaksikan, atau membiarkan adanya perbuatan jahat sama saja nilainya dengan mendukung terjadinya kejahatan dan dosa.
“Mudah mudahan dengan menunaikan ibadah puasa ini kita diberikan oleh Allah kelapangan hati dan kelapangan rizki untuk kita menyisihkan sebagian rizki yang kita miliki membantu sesama, membantu perjuangan di jalan Allah, mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kepada kita pertolongannya, memberikan kepada kita taufiknya, sehingga perbuatan baik yang kita lakukan merupakan investasi untuk kita menanam kebaikan tidak hanya untuk kehidupan di dunia tetapi juga kebahagiaan untuk kerhidupan di akhirat nanti,” kata Mu’ti.