JAKARTAMU.COM | Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengusung konsep tafsir transformatif dalam Konferensi Mufasir Muhammadiyah II.
Gagasan ini menegaskan Al-Qur’an bukan sekadar petunjuk untuk hidup (guide for living). Al-Qur’an juga pedoman yang senantiasa hidup (living guide) dan relevan sepanjang zaman.
Abdul Mu’ti mengkritik upaya rasionalisasi dan saintifikasi Al-Qur’an yang kadang tidak terbukti secara empiris.
“Kalau jejak arkeologis tidak ditemukan, apakah Nabi Adam tidak ada? Inilah kelemahan pendekatan saintifik semata terhadap Al-Qur’an,” ujar Mu’ti dalam konferensi yang digelar di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka), Jakarta.
Baca juga: Quraish Shihab Ungkap Dinamika Tafsir Kontemporer dalam Konferensi Mufasir
Al-Qur’an, kata Mu’ti, harus dipahami secara dinamis dan diaplikasikan sesuai tantangan zaman, tanpa menghilangkan nilai-nilai universalnya. Tafsir Al-Ma’un karya KH Ahmad Dahlan, misalnya, telah melahirkan berbagai amal usaha seperti rumah sakit dan panti asuhan yang menjawab kebutuhan masyarakat.
Lebih jauh, dia menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an yang menginspirasi inovasi teknologi dan perkembangan transportasi. “Perintah menjelajahi dunia memerintahkan kita untuk menciptakan alat transportasi yang canggih,” katanya.
Masih berkaitan dengan tafsir transformatif, Mu’ti mengemukakan pandangannya tentang zakat. Dia menyarankan agar zakat diantarkan langsung ke tangan mustahik (penerima zakat), bukan dibagikan melalui sistem kupon atau antrean seperti lazim berlangsung saat ini.
”Memberi zakat itu jangan pakai kupon. Antarkan langsung atau gunakan teknologi seperti nomor rekening. Agama tidak boleh anti kemajuan teknologi,” ujar Mu’ti.
Baca juga: Haedar Nashir Tekankan Urgensi Tafsir At-Tanwir: Menuju Peradaban Tinggi
Ia memandang teknologi perbankan, seperti fasilitas autodebet, bisa menjadi solusi untuk mempermudah penghitungan nisab zakat dan distribusinya.
Bagi Mu’ti, zakat bukan hanya urusan materi, melainkan juga alat untuk menyucikan jiwa dan menyelesaikan ketimpangan sosial (tazkiyatul musykilat).
“Zakat itu jangan hanya santunan sesaat, melainkan harus memberdayakan umat. Jangan sampai yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin,” tegasnya.
Mu’ti menilai, zakat harus didayagunakan untuk menciptakan empowerment bagi penerima agar taraf hidup mereka meningkat secara berkelanjutan. Pendapat ini, katanya, bisa disesuaikan dengan kondisi masyarakat di berbagai tempat.
“Setiap konteks masyarakat berbeda-beda. Pendapat ini boleh diikuti, boleh juga tidak,” ujarnya.