Rabu, Januari 15, 2025
No menu items!

Agama dan Politik: Tinjauan Sekilas atas Masyarakat Madinah

Must Read

JAKARTAMU.COM | Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara agama dan politik dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan.

Agama adalah wewenang shahib al-syari’ah (pemilik syari’ah), yaitu Rasulullah, melalui wahyu atau berita suci yang diterimanya dari Allah SAW.

Sedangkan masalah politik adalah bidang wewenang kemanusiaan, khususnya sepanjang menyangkut masalah-masalah teknis struktural dan prosedural. Dalam hal ini, besar sekali peranan pemikiran ijtihadi manusia.

Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang kehidupan “duniawi” mana pun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan “untuk apa” tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan.

Atas dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia.

“Inilah makna bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari agama,” tulis Prof Dr Nurcholish Madjid atau Cak Nur (1939 – 2005) dalam “Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan” di buku Jurnal Pemikiran Islam Paramadina.

Akan tetapi dalam hal susunan formal atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang sebagai suatu jenis ijtihad).

Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).

Menurut Cak Nur, hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah.

Muhammad SAW selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin masyarakat politik (sebagai Kepala Negara).

Dalam menjalankan peran sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci.

Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau melakukan musyawarah –sesuai dengan perintah Allah– yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapat pribadi.

“Sebab dalam hal peran sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan ijtihad,” jelas Cak Nur.

Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan pribadi beliau selaku seorang manusia.

Pengakuan memang banyak diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa beliau adalah seorang jenius.

“Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di pihak lain telah membuat Nabi Muhammad SAW seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia,” demikian Cak Nur.

Tinjauan Sekilas atas Masyarakat Madinah

Cak Nur mengatakan sejarah mencatat bahwa kota hijrah Nabi adalah sebuah lingkungan oase yang subur sekitar empatratus kilometer sebelah utara Makkah. Kota itu dihuni orang-orang Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-suku utama Bani Nazhir, Bani Qaynuqa’ dan Bani Qurayzhah.

Kota oase itu agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup jauh, dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Ptolemius, Yethroba.

“Yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan Nabi s.a.w. untuk mengganti nama kota itu menjadi Madinah,” ujarnya.

Tindakan Nabi itu bukanlah perkara kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik jazirah

Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner. Secara peristilahan atau semantis, perkataan Arab “madinah” berarti kota.

Pengertian itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat ditelusuri kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu “d-y-n” (dal-ya’-nun), dengan makna dasar “patuh”, sebagaimana dinyatakan dalam tasrif dana-yadinu.

Dan situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk “agama” ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh.

Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut “agama” itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup.

Agama dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang benar dan yang palsu. Sebagian manusia menganut agama yang benar, sebagian lagi tidak.

Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa.

Kepatuhan penuh pasrah kepada-Nya itu disebut, dalam Bahasa Arab, Islam, yang makna asasinya terkait dengan kata-kata salam (damai), salamah atau salamat-un (selamat) dan salim (utuh, integral, sound).

Oleh karena itu kepatuhan atau dan yang benar ialah Islam, dan yang merupakan pola hidup (mode of life) penghuni seluruh alam raya, bahkan alam raya itu sendiri juga, yang seharusnya juga merupakan sikap hidup yang benar-benar bagi manusia sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul sepanjang masa.

Karena kepatuhan serupa itu merupakan “hukum alam” (lebih tepatnya, ketentuan atau takdir Tuhan bagi seluruh alam, ciptaan-Nya), maka tidak melaksanakan Islam adalah sikap tidak alamiah dan tidak wajar dengan segala akibatnya atas orang bersangkutan. Karena itu dengan sendirinya tertolak.

Sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab “din” itu sama prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta “agama”. Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian “a-gama” yang berarti. “tidak kacau”, yakni, teratur atau berperaturan.

“Agama” dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal, Negara Kertagama.

Kembali ke perkataan “madinah” yang digunakan Nabi SAW untuk menukar nama kota hijrah beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat.

Maka sebuah konsep, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.

Karena itu perkataan Arab untuk peradaban ialah madaniyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae (juga “polisi”).

Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut “kota” (city, polis). Dalam konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadlarah) di tempat itu.

Maka, masih dalam peristilahan Arab, tsaqafah menjadi berarti “kebudayaan”, dan hadlarah menjadi berarti “peradaban”, sama dengan madaniyah.

Lawan tsaqafah dan hadlarah ialah badawah yang mempunyai makna peristilahan “hidup berpindah-pindah” (nomadism) dan makna kebahasaan “(tingkat) permulaan” (bidayah, alis “primitif”).

Oleh karena itu “orang kota” disebut ahl al-hadlar atau hadlari dan “orang kampung” disebut ahl al-badawah atau badawi, juga badwi (badui).

Kaum “badui” juga sering disebut al-A’rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-‘Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama.

Dalam al-Qur’an mereka yang disebut al-A’rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan.

Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi SAW hanya sampai kepada batas kepatuhan lahiriah, tanpa kedalaman iman. Dalam al-Qur’an terbaca firman yang memerintahkan Nabi untuk mengingatkan bahwa mereka itu baru “berislam” (secara lahiriah), karena iman belum masuk ke dalam hati mereka.

Haedar Nashir Resmi Membuka Tanwir I Aisyiyah

JAKARTAMU.COM | Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, secara resmi membuka Tanwir I Aisyiyah di di Tavia...

More Articles Like This