Ia juga mengungkapkan bahwa beberapa dalil yang sering dikaitkan dengan sunat perempuan sebenarnya tidak memiliki dasar kuat. Salah satunya adalah penafsiran terhadap QS. An-Nisa’ ayat 125 yang sering digunakan sebagai dasar hukum khitan karena dikaitkan dengan ajaran Nabi Ibrahim. Namun, menurut para mufasir, ayat tersebut lebih merujuk pada ajaran tauhid, bukan khitan.
Selain itu, hadis dari Ummu Athiyah yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah memberi nasihat kepada seorang perempuan yang akan berkhitan di Madinah juga dinilai lemah. “Hadis ini bermasalah karena terdapat perawi yang tidak diketahui asal-usulnya, yaitu Muhammad ibn Hasan,” tambahnya.
Meski begitu, Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan PP ‘Aisyiyah, Evi Sovia Inayati, menekankan bahwa tradisi sunat perempuan dan perayaan yang mengiringinya masih kuat di beberapa daerah. Oleh karena itu, diperlukan strategi bersama untuk mengubah tradisi ini dengan meningkatkan pemahaman masyarakat.
“Kita perlu terus menyebarkan pemahaman Islam berkemajuan yang tidak menganjurkan khitan perempuan, dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani melalui tabligh, ceramah, serta sosialisasi yang intensif dan berkelanjutan,” ungkap Evi.
Sebagai langkah alternatif, Siti Aisyah mengusulkan penggantian tradisi sunat perempuan dengan tasyakuran saat anak perempuan mengalami haid pertama.
“Haid pertama merupakan simbol kedewasaan dan awal tanggung jawab seorang perempuan dalam menjalankan kewajiban keagamaan dan sosial. Ini bisa menjadi momen yang lebih bermakna dibandingkan praktik sunat perempuan,” tutupnya.
Dengan berbagai upaya ini, ‘Aisyiyah berharap dapat mendorong perubahan positif di masyarakat dan menghapus praktik sunat perempuan yang masih terjadi di Indonesia.