JAKARTAMU.COM | Prof Dr KH Nasaruddin Umar, MA mengatakan ajaran Islam tidak menganut paham menstrual taboo. Paham ini berkembang dalam agama Yahudi. Darah menstruasi dianggap darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi menurut kepercayaan Agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus.
Gubuk itu dirancang untuk tempat hunian para perempuan menstruasi. Mereka mengasingkan diri di dalam gua-gua, tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu.
Bukan itu saja, yang lebih penting ialah tatapan mata dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan “mata iblis” (evil eye) harus diwaspadai, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana.
Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.
Dari sinilah asal-usul penggunaan kosmetik yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan sedang menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung, giwang, anting-anting, sandal, selop, lipstik, shadow, celak, termasuk cadar/jilbab ternyata adalah menstrual creations.
Haid dalam Islam
Nasaruddin Umar dalam tulisannya berjudul “Perspektif Jender Dalam Islam” yang dihimpun dalam buku “Jurnal Pemikiran Islam Paramadina” mengatakan ajaran Islam tidak menganut paham menstrual taboo, sebaliknya berupaya mengikis tradisi dan mitos masyarakat sebelumnya yang memberikan beban berat terhadap kaum wanita.
“Seperti mitos tentang wanita haid seolah-olah ia tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain harus diasingkan juga harus melakukan berbagai kegiatan ritual yang berat,” ujarnya.
Ia menjelaskan istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haid. Istilah ini dalam al-Qur’an hanya disebutkan empat kali dalam dua ayat; sekali dalam bentuk fi’l mudlari/present and future (yahidl) dan tiga kali dalam bentuk ism mashdar (al-mahidl). Lihat QS al-Thalaq ayat 4 dan surat al-Baqarah ayat 222.
Kata haid adalah istilah khusus digunakan dalam al-Qur’an istilah ini tidak ditemukan dalam teks Taurat dan Injil. Dalam Al-Munjid fi al-Lughah kata haid, tanpa menjelaskan asal-usul dan padanannya, dari kata hadla-hadlan yang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis tertentu.
Hanya dalam Lisan al- Arab dikemukakan pendapat lain mengenai asal-usul kata tersebut. Menurut Al-Lihyani, Abu Sa’d, dan Abu Sukait, kata hadla dan hasha mempunyai arti yang sama yaitu “mengalir, menampal”.
Hanya ada kesulitan kalau kedua kata itu diartikan sama, karena keduanya masing-masing mempunyai konteks penggunaan dalam al-Qur’an. Walaupun keduanya hanya disebutkan empat dan lima kali dalam bentuk mashdar dalam al-Qur an tetapi kata mahish lebih banyak berarti “jalan keluar” terhadap berbagai masalah, sedangkan mahidl dipakai dalam konteks darah haid.
Dari segi penamaan saja, kata haid sudah lepas dari konotasi teologis seperti agama-agama dan kepercayaan sebelumnya. Masalah haid dijelaskan dalam QS al-Baqarah ayat 222.
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah ‘kotoran’ oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari Anas, bahwa bilamana perempuan Yahudi sedang haid, masakannya tidak dimakan dan tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya.
Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat tersebut di atas. Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda “lakukanlah segala sesuatu (kepada isteri yang sedang haid) kecuali bersetubuh”.
Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi seperti shock mendengarkan pernyataan tersebut.
Apa yang selama ini dianggap tabu tiba-tiba dianggap sebagai “hal yang alami” (adzan). Kalangan mereka bereaksi dengan mengatakan apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Rasulullah) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita. Usaid ibn Hudlair dan Ubbad ibn Basyr melaporkan reaksi tersebut kepada Rasulullah; lalu wajah Rasulullah berubah karena merasa kurang enak terhadap reaksi tersebut.
Rasulullah SAW dalam banyak kesempatan menegaskan kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita haid. Rasulullah kembali menegaskan bahwa: “Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj)”.
“Segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (al-jima’)”.
Bahkan Rasulullah seringkali mengamalkan kebolehan itu dalam bentuk praktik. Riwayat lain yang secara demonstratif disampaikan A’isyah, antara lain, A’isyah pernah minum dalam satu bejana yang sama dalam keadaan haid, juga pernah menceritakan Rasulullah melakukan segala sesuatu selain bersetubuh (jima’) sementara dirinya dalam keadaan haid, juga darah haid dan bekasnya yang terdapat dalam pakaian ‘A’isyah; sama sekali Rasulullah tidak memperlihatkan perlakuan tabu terhadapnya. “Banyak lagi riwayat yang serupa disampaikan oleh isteri-isteri Nabi yang lain,” tulis Nasaruddin Umar.
Jika diteliti lebih cermat, kata Nasaruddin Umar, meanstream ayat di atas sesungguhnya bukan lagi haid-nya itu sendiri tetapi pada al-mahidl-nya atau “tempat” keluarnya darah itu (mawdhi ‘al-haydl), karena Tuhan menggunakan kata al-mahidl, bukan al-haydl.
Walaupun kedua kata itu sama-sama dalam bentuk mashdar/verbal noun tetapi yang pertama menekankan “tempat” haid (mawdhi ‘al-haydl) sedangkan yang kedua menekankan “waktu” dan “zat” haid (‘ayn al-haydl) itu sendiri.
Menurut Nasaruddin Umar, banyak mufassir menyamakan atau tidak menegaskan perbedaan pengertian kedua istilah tersebut. Pada hal menyamakan atau membedakan pengertian tersebut masing-masing mempunyai makna yang berbeda, bahkan lebih jauh akan berimplementasi kepada persoalan hukum.
Kalau al-mahidl diartikan sama dengan al-haydl, maka ayat tersebut berarti jauhilah perempuan itu pada waktu haid artinya dilarang bergaul dan bersenang-senang, dan ini jelas menyalahi struktur makna yang dikehendaki Sang Mukhathab.
Akan tetapi kalau yang dimaksud ayat itu ialah al-mahidl dalam arti mawdhi ‘al-haydl, maka ayat itu berarti jauhilah tempat haid dari perempuan itu. Penggunaan logika yang kedua ini, kata Nasaruddin Umar, menjadi jelas tanpa harus lagi ada “penghapusan” (nasakh) atau pengkhususan (takhshish).
Kalau yang dimaksud al-mahidl yakni al-haydl maka akan menimbulkan kejanggalan dalam pengertian, karena yang bermasalah (adzan) dalam lanjutan ayat itu ialah waktu haid (zaman al-haydl), bukan tempat haid (mawdhi’ al-haydl), jadinya tidak logis dalam pengertian (ghayr ma’qul al-ma’na) karena sesungguhnya yang bermasalah (adzan) ialah mawdhu’-nya. “Haid itu sendiri bukan adzan karena haid hanya di-‘ibirah-kan dengan darah yang khusus,” katanya.
Al-Razi dalam Tafsir al-Kabir memberikan alternatif lain dengan mengatakan bahwa kalimat al-mahidl yang pertama berarti al-haydl, sedangkan yang kedua berarti tempat haid.
Implementasi dari pengertian ini ialah persoalan haid sebagaimana yang ditanyakan sahabat Nabi dan sekaligus menjadi sabab nuzul ayat itu hanyalah persoalan fisik-biologis, tempat keluarnya darah haid itu bukan persoalan tabunya darah haid seperti yang dipersepsikan oleh umat-umat terdahulu.
Perintah untuk “menjauhi” (fa’tazilu) dalam ayat di atas bukan berarti menjauhi secara fisik (li al-tab’id) tetapi memisahkan atau menghindarkan diri untuk tidak berhubungan langsung (i’tizal).
Sedangkan darah haid disebut al-adzan karena darah tersebut adalah darah tidak sehat dan tidak diperlukan lagi oleh organ tubuh wanita. Bahkan kalau darah itu tinggal di dalam perut akan menimbulkan masalah, karena itulah disebut adzan.
Mengenai pembersihan diri (thaharah) dari haid, dalam Islam tidak pula dikenal adanya upacara ritual khusus seperti dalam agama Yahudi dan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa sesudah hari ketujuh ia sudah dapat dianggap bersih setelah mandi, kecuali Abu Hanifah berpendapat tidak harus mandi tapi cukup membersihkan tempat keluarnya darah haid dan juga tidak perlu menunggu tujuh hari.
Sekalipun kurang tujuh hari kalau sudah merasa bersih sudah dapat melakukan ibadah secara rutin. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Auza’i dan Ibn Hazm.