Oleh: Irawan Santoso Shiddiq, Junalis Tinggal di Jakarta
JAKARTAMU.COM | Joe Biden, Presiden Amerika Serikat, orang nomor satu di pemerintahan AS. Tanggal 17 Januari 2025, di ruang Oval, meja kerjanya di Gedung Putih, Washington, dia berpidato terakhir. Karena dia hendak diganti Presiden berikutnya. 17 menit dia berbicara. Tapi satu yang mengagetkan, Biden bilang Amerika telah terancam kedigdayaan oligarkhi. Negara adidaya itu tak berdaya dengan oligarkhi.
Amerika, symbol negara sekuler era modern. Inilah model negara (state) modern yang dijadikan contoh dunia. Pengaruhnya membahana. Sejak Perang Dunia II, kala Amerika membom Nagasaki dan Hiroshima, disitulah mereka menang. Tak ada yang mengecam pengeboman itu. Einstein dipuja. Seolah itulah karya cipta dahsyat manusia. Ujungnya hanya melahirkan genosida. Kala teori Einstein, “aku yang mencipta,” maka seolah manusia menganggap itulah ‘kehendaknya.’ Bukan ‘Kehendak Tuhan.’ Deklarasi sekuler itu yang dibuktikan dalam Perang Dunia II.
Kehebatan teori ‘kehendak manusia’ itu yang diwakili Amerika. Mereka mendewakan Patung Liberty. Simbol kebebasan. Patung hadiah dari Republik Perancis. Yang telah merdeka (bebas) duluan.
Mereka merdeka dari apa? Siapa yang menjajah Perancis dan Amerika hingga mereka memunculkan Patung Liberty?
Ternyata bebas dari paham ‘Kehendak Tuhan.’ Karena liberte, pertanda manusia memiliki ‘free will.’ Kehendak bebas. Inilah ajaran yang dikembangkan sejak pasca renaissance di Eropa.
Perancis, pasca revolusi tahun 1789, berteriak lantang, ‘Tak ada ‘Kehendak Tuhan,’ yang ada ‘kehendak manusia.’ Perancis dan Amerika mendeklarasikan mereka mewakili negara modern yang menganut paham ‘free will.’ Kehendak bebas.
Inilah paham qadariyya. Tentu yang melahirkan sekulerisme-liberalisme. Pondasinya adalah materialisme. Descartes, Kant, Marx, sampai Einstein memproklamirkannya. Mereka menentang bahwa ‘being’ itu adalah Perbuatan Tuhan. Tapi ‘perbuatan manusia.’
Statement ini pula yang dikumandangkan Ramses (Firaun) sejak dulu. Karena mereka berada dalam alam dunia, seolah tak ada ‘Kehendak Tuhan.’
Voltaire mengatakan, Tuhan hanya bak pembuat jam. Kala jam selesai dibuat, maka jam berjalan sendiri. Itulah paham sekulerisme, yang diusung para ‘liberte-egalite-fraternite.’
Maknanya, kitab suci tak lagi dipercaya. Karena, sebagaimana teori Plato, manusia dibekali akal yang kemudian berhak untuk mengatur alam dunia ini dengan sendirinya.
Maka Amerika adalah simbol sekulerisme itu. Para modernis barat, menganggap model tatanan seperti itu yang melahirkan welfare state. Model negara sekuler, seolah yang akan membuat warga bahagia.
Mereka menamakan ‘kehendak manusia’ itu dengan demokrasi. Kebebasan manusia, dijamin dengan kehendak rakyat. Sebagaimana teori JJ Rosseau, manusia mengatur alam dunia dengan teori le contract sociale. Kontrak social menggantikan ‘kitab suci.’
Itu yang terjadi pada Robbispierre mendeklarikan Republik Perancis. Mengkudeta ‘Kehendak Tuhan’ yang diwakili ‘vox rei vox Dei’ (suara Raja suara Tuhan). Diganti dengan ‘vox populi vox Dei.’ Seolah dengan kehendak manusia, itulah jalan menuju negara bahagia. Teori ini yang diajarkan dari barat, sejak sekulerisme menjadi paham.
Tapi coba dengar pidato Biden di meja Oval. Benarkah Amerika bahagia?
Biden berkata, “Saya ingin memperingatkan negara tentang beberapa hal yang membuat saya sangat khawatir. Dan ini berbahaya — dan itu adalah konsentrasi kekuasaan yang berbahaya di tangan segelintir orang yang sangat kaya, dan konsekuensi berbahaya jika penyalahgunaan kekuasaan mereka dibiarkan begitu saja.”
“Saat ini, oligarki sedang terbentuk di Amerika dengan kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh yang sangat besar yang secara harfiah mengancam seluruh demokrasi kita, hak-hak dasar dan kebebasan kita, dan kesempatan yang adil bagi semua orang untuk maju.“
Ternyata Biden memberi pesan, ‘negara berkehendak free will’ telah terancam kebebasannya. Negara sekuler itu dirundung nestapa. Karena ‘kebebasan’ itu dimakan segelintir kaum. Mereka yang menikmati paham ‘free will’ itu. Bahkan Presiden Amerika pun memberi warning betapa Amerika bukanlah negara bahagia. Amerika terancam munculnya kaum oligarkhi, yang justru berbahagia. Bukan rakyat Amerika.
Tapi Biden tentu tak punya jalan keluar. Karena dia hanya berkeluh kesah perihal model negara sekuler, yang ujungnya hanyalah nihilism. Tak ada kebahagiaan.
Nietszche telah memberikan warning berulang kali. ‘Kehendak bebas itu hanya tipuan,” ujarnya.
Karena paham ‘free will’ itu bersumber dari filsafat. Ini yang melahirkan materialisme. Anak kandungnya adalah sekulerisme. Martin Heidegger telah mewanti, ‘Filsafat telah mati.’ Karena tak berhasil menemukan Kebenaran. Hanya melahirkan kebenaran essensialis. Bukan Kebenaran Eksistensialis.
Pernyataan Biden itu jadi bukti. Teori sekulerisme state, yang berorientasi welafare state, itu hanya essensialisme. Bukan menuju Kebenaran Eksistensialis. Amerika tertipu. Dunia pun tertipu. Karena berpatokan pada Amerika, yang justru merana pada cengkeraman oligarkhi. Mereka yang mengeruk kekayaan Amerika.
Kaum oligarkhi ini yang merajai Amerika. Washington pun tak berdaya. Sama seperti Istana Negara dimana-mana. Ujungnya hanya menjadi boneka para oligarkh. Biden menyebut istilah lama: mereka para Baron.
Baron ini yang hidup masa Revolusi Inggris, 1660. Mereka mengkudeta Kerajaan Inggris, keluar dari otoritas Gereja Roma. Inggris, kerajaan kedua setelah Belanda, yang keluar dari liga Roma. Tak lagi tunduk pada model kitab suci. Melainkan menganut ‘free will’ tadi. Maka Raja William kemudian dijadikan boneka para baron.
Mereka membuat kartel uang. Membangun Bank of England. William jadi Raja. Tapi yang mengatur uang kerajaan adalah para baron. Tapi ini bisa terjadi setelah ‘pertukaran aqidah.’
Paham free will harus dikembangkan lebih dulu. Setelah manusia disihir untuk tak lagi percaya pada agama, maka manusia pun bisa disetir bak boneka. Termasuk sang Raja maupun Presiden.
Malah para baron itu menjadi kreditur. Sang Raja menjadi debitur yang harus membayar utang nasional. Utang berbunga. Riba. Merekalah kaum bankir Yahudi yang memerankan itu. Ternak riba dimana-mana. Menjebak head of state, agar bersedia menjadi nasabahnya.
Dengan paham free will, maka itu bisa dilakukan. Karena manusia terdoktrin, bahwa alam dunia ini manusia berhak untuk membuat hokum sendiri. Tanpa merujuk kitab suci. Hans Kelsen, Auguste Comte, dan lainnya, mereka yang merancang cara berpikir sesat itu, agar manusia menerima permainan ala bankir, menternakkan utang berbunga. Riba tadi.
Model ini yang mereka ekspor ke Kerajaan Perancis. King Louis XVI dikudeta. Digantung di depan penjara Bastille. Itu simbol ‘Kehendak Tuhan’ ditanggalkan.
Hukum Tuhan dieliminasi. Diganti positivism. Hukum ala rasio manusia. Karena manusia berpaham free will, maka seolah berhak membuat hukum sendiri. Ujungnya Napoleon dijadikan Kaisar Perancis, tapi terjebak utang berbunga.
Bank de France, tak dibawha kendali gouverment. Melainkan dibawah kendali para bankir. Bank central jadi perusak Trias Politica. Karena tak ada kendali kekuasaan berlandas ‘distribution of power.’ Sebab setiap modern state, diwajibkan punya central bank.
Trias Politica hanya teori usang. Dijadikan hiburan bagi para akademisi mandul dikampus-kampus. Karena akademisi tak mampu menjawab jaman. Hanya jadi corong ‘aqidah’ free will, seolah modern state ideal adalah Amerika.
Model itu pula yang diikuti Amerika. Makanya Perancis mengirim Patung Liberty. Seolah symbol kemenangan. Menang dari apa? Mereka seolah menang dari ‘Kehendak Tuhan.’ Revolusi Amerika hanya kelanjutan dari France Revolution. Sama-sama mengumandangkan paham ‘free will.’
Demokrasi yang diteorikan, hanya bualan. Karena ujungnya Amerika berubah menjadi okhlokrasi. Siklus Polybios, sejawaran Romawi, memberikan instruksi. Karena demokrasi, akan berganti menjadi okhlokrasi. Bukan lagi oligarkhi. Karena kendali pemerintahan dibawah control kaum perusak. Merekalah para moneteris, kaum bankir tadi.
Theodore Roosevelt sejatinya telah menyadari. Dia pernah diundang makan siang di kediaman seorang oligarkh Amerika, Joseph Seligman. “Separuh undangannya adalah bankir Yahudi, saya menyadari semua antisipasi paling suram dari ‘Brooks Adams’ terhadap negara kita yang dipenuhi emas dan kapitalis, masa depan yang dikuasai rentenir.”
Lingkaran Roosevelt yang semula membangun Amerika dalam pondasi Protestan, kemudian kalah dengan kelompok lingkar elit Yahudi bankir. Mereka memonopoli uang. Bretton Woods, 1946, adalah permainan cantik para rentenir. Disitulah kedaulatan negara resmi tiada. Digantikan kedaulatan bankir. Kaum oligarkh Yahudi yang mengendalikan.
Maka dalam pandangan Dr. Ian Dallas, ulama besar asal Skotlandia, oligarkhi baru Amerika telah lahir sejak 1989. Kaum banker Yahudi telah merangsek menguasai Amerika, mengalahkan judio Protestan, yang sebelumnya menyingkirkan kelompok pengikut Roma di Perancis.
Merekalah pemegang keuangan di adidaya. Banking system menjadi model yang tak dipisahkan dari state modern. Bahkan diwajibkan berlaku. Ujungnya, merekalah kaum oligarkh yang berjaya diatas suatu ‘negara.’ Itulah model realitas ‘demokrasi Amerika’ yang dipuja-puja kaum sekuler di timur.
Karena Biden sendiri mengakui, oligarkhi itu berada diluar struktur negara. Tapi mereka memiliki kendali besar atas state. Inilah yang merusak demokrasi. Arti lain, demokrasi itu sudah mati. Tak ada demokrasi yang dibanggakan oleh Amerika. Itu hanya ilusi yang dipelajari terus dibangku sekolah dan kuliah.
Biden menunjukkan Amerika bukanlah the ideal state. Melainkan menuju the fall state. Karena negara gagal telah menjadi fenomena modern, yang tak pernah bisa dibaca oleh para penganut teori usang ‘soverignty’ ataupun trias politica. Karena sejak paham ‘free will’ itulah, segala macam teori ala rasio manusia didengungkan. Mulai dari Machiavelli hingga Rosseau, mereka mengusung manhaj serupa: free will. Ujungnya adalah negara bebas, yang ternyata tak bebas. Melainkan negara yang terkekang dan tersander oligarkhi.
Inilah bentuk kesalahan besar cara berpikir manusia. Ketika manusia meninggalkan kitab suci, maka disitulah kesesatan terjadi. Oligarkhi Amerika telah terbukti. Sang mantan Presiden yang utarakan sendiri. Amerika dikuasai para baron. Kaum neo baron itu yang menjadi sejahtera. Demokrasi jadi ilusi, karena rakyat tak sejahtera. Bahkan ‘state’ pun tak sejahtera.
Mustafa Kemal Attaturk di Turki pasti menangis di alam kuburnya. Dia mengaggumi Amerika. Kemal mengusung pembubaran Daulah Ustamniyya, seolah Turki merujuk pada Amerika, maka akan sejahtera. Seabad berselang, kala Turki memilih jadi sekuler, meninggalkan pola Islam, ujungnya malah dikucilkan Eropa. Bahkan tak bisa duduk sejajar dengan para negara sekuler barat.
Begitulah tipuan dari sekulerisme, yang berpangkal dari manhaj ‘aqidah’ free will. Kala manusia berpikir seolah memiliki kehendak bebas, seolah bisa mengatur bagaimana manusia harus diatur. Tanpa merujuk lagi kitab suci. Turki merasakan kesialan mengikuti Amerika. Begitu pula beragam negeri-negeri muslim lain, yang disekuler-kan, dengan seolah merujuk pada Amerika.
Karena Biden sendiri telah menunjukkan bagaimana Amerika merana. Negara adikuasa itu ternyata tak berkuasa. Presidennya berkeluh kesah, negeri itu dikuasai kaum rentenir. Mereka yang melegalisasi riba. Amerika pun diambang kehancuran. Seperti Romawi kuno, kala mereka memasuki fase okhlokrasi. Bukan lagi demokrasi.
Maka imperium itu berada dalam posisi ‘the sick man.’ Akan hancur dengan sendirinya. Karena monetaris system yang mengelabui, membuktikan tak ada kedaulatan negara. Amerika tak bisa mengatur uang Dollarnya sendiri. Begitu pun negara-negara lainnya. Uang diatur oleh para oligarkhi. Merekalah para banker Yahudi. Mereka melegalisasi riba.
Romawi kuno hancur oleh kesatuan paradigm baru. Munculnya kaum yang merujuk kembali pada kitab suci. Kaum ber-Tauhid. Inilah yang telah ditunjukkan oleh Sayidinna Rasulullah Shallahuallaihiwassalam. Madinah al Munawarah, sebuah monarkhi kecil, menggantikan okhlokrasi, berupa kumpulan kaum ber-Tauhid. Yang tak percaya pada free will. Melainkan tunduk patuh pada Kitab Suci. Mulai cara berjalan, sampai bagaimana mengatur negara. Itu semua diatur dalam Kitab Suci. Al Quran dan Sunnah memiliki pranatanya.
Tapi jangan tanya itu pada kaum modernis Islam. Kaum sekuler Islam. Kaum ‘pembaharu Islam’ yang muncul sejak di Mesir abad 20, dan para pengikutnya. Mereka masih tergila-gila pada Amerika –yang telah terampas oleh oligarkhi. Turki telah terbukti. Mengikuti pola Amerika, malah merana. Indonesia pun sama. Terpesona pola republik, bukan kerajaan, kala siding BPUPKI dulu. Ujungnya jadi nasabah ordo bankir juga. (*)