JAKARTAMU.COM | Di tengah hingar-bingar politik nasional, di mana jabatan sering kali menjadi tolok ukur eksistensi seseorang, ada satu fenomena menarik yang terjadi. Anies Baswedan, seorang tokoh yang kini tidak lagi menjabat sebagai gubernur, menteri, atau presiden, justru mendapatkan sambutan luar biasa di berbagai tempat yang ia kunjungi. Salah satu momen yang mencuri perhatian adalah ketika ia diundang untuk meresmikan masjid di Pesantren Daarut Tauhid.
Bayangkan pemandangan itu: ribuan santri berbaris rapi, wajah-wajah mereka penuh antusiasme, tangan-tangan terangkat menyambutnya dengan salam, dan suara takbir bergema ketika Anies melangkah masuk ke pesantren. Padahal, secara formal, ia bukan pejabat negara, bukan gubernur, dan bukan pula presiden. Ia hanyalah—dalam istilah sarkas yang beredar di media sosial—seorang “pengangguran.”
Tetapi apakah benar Anies Baswedan hanyalah seorang pengangguran?
Ketika Jabatan Bukan Lagi Segalanya

Dalam sistem demokrasi, jabatan politik bersifat sementara. Seorang pemimpin bisa menjabat dalam satu periode, lalu tergantikan di periode berikutnya. Namun, ada hal yang tidak bersifat sementara—yaitu jejak kepemimpinan, rekam jejak kebijakan, dan dampak yang telah ditinggalkan. Inilah yang menjelaskan mengapa, meski tidak lagi menduduki jabatan formal, Anies tetap disambut dengan meriah oleh masyarakat.
Sambutan santri di Daarut Tauhid bukan sekadar euforia sesaat. Itu adalah cerminan dari bagaimana seseorang bisa tetap dihormati bukan karena statusnya, tetapi karena ide, gagasan, dan dedikasinya. Anies, yang dikenal sebagai akademisi dan pemimpin dengan narasi perubahan, telah berhasil menanamkan pemikiran yang resonan dengan banyak orang.
Pesantren dan Figur Anies Baswedan

Pesantren Daarut Tauhid, yang didirikan oleh KH. Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang menekankan nilai keteladanan. Dalam memilih seseorang untuk meresmikan masjid, tentu ada pertimbangan lebih dari sekadar popularitas. Ada nilai yang dilihat dalam sosok tersebut—nilai yang sesuai dengan prinsip-prinsip pesantren, seperti integritas, kejujuran, dan kepedulian sosial.
Anies, yang selama menjabat sebagai gubernur dikenal dengan program-program berbasis keadilan sosial, agaknya dianggap memiliki kedekatan dengan nilai-nilai ini. Program-programnya, seperti KJP (Kartu Jakarta Pintar) Plus, KJP untuk santri, serta kebijakan transportasi gratis bagi pelajar, adalah bukti bagaimana ia menempatkan pendidikan dan kesejahteraan sosial sebagai prioritas.
Lebih dari itu, sebagai seorang intelektual Muslim, Anies juga sering berbicara tentang pentingnya nilai-nilai Islam dalam membangun peradaban. Maka, tidak mengherankan jika komunitas pesantren merasa ada keselarasan antara nilai-nilai yang mereka anut dengan visi yang pernah diusung Anies.
Sarkasme “Pengangguran” dan Realitas Politik

Di media sosial, banyak yang menyebut Anies sebagai “pengangguran” dengan nada satire. Ini adalah cara sebagian orang melihatnya setelah ia gagal memenangkan Pilpres 2024. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks. Anies memang tidak memegang jabatan struktural, tetapi ia masih menjadi salah satu tokoh politik paling diperhitungkan di Indonesia.
Jika seorang mantan pejabat kehilangan relevansinya, biasanya ia akan tenggelam dalam ketidakjelasan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—ke mana pun Anies pergi, ia tetap disambut dengan penuh antusiasme. Ini menunjukkan bahwa eksistensi politik seseorang tidak selalu bergantung pada jabatan. Ada dimensi lain yang lebih penting, yaitu pengaruh dan kepercayaan publik.
Selain itu, ada sisi lain dari narasi “pengangguran” ini yang perlu disoroti. Dalam sejarah politik dunia, banyak pemimpin yang sempat berada di luar sistem, tetapi tetap memiliki peran besar. Nelson Mandela pernah dipenjara bertahun-tahun sebelum akhirnya menjadi presiden Afrika Selatan. Mahatma Gandhi tidak pernah menjadi pejabat negara, tetapi ia adalah pemimpin yang membawa India ke gerbang kemerdekaan.
Di Indonesia sendiri, Bung Karno pernah mengalami pengasingan sebelum akhirnya menjadi presiden pertama. Begitu pula Gus Dur, yang setelah lengser tetap menjadi sosok yang didengar oleh banyak kalangan.
Fenomena Anies: Dari Politik ke Gerakan Sosial?

Sambutan meriah terhadap Anies di berbagai tempat menunjukkan bahwa ia masih memiliki magnet politik yang kuat. Namun, lebih dari itu, ini juga bisa menjadi indikasi bahwa peran seorang pemimpin tidak harus selalu berada dalam lingkup politik praktis.
Ada kemungkinan bahwa Anies akan mulai bergerak di bidang sosial dan pendidikan, seperti yang pernah ia lakukan sebelum terjun ke politik. Dengan latar belakangnya sebagai akademisi dan mantan rektor Universitas Paramadina, bukan tidak mungkin ia akan membangun kembali platform intelektual untuk mendidik masyarakat.
Jika ini yang terjadi, maka kita bisa menyaksikan fenomena baru dalam lanskap politik Indonesia—di mana seorang pemimpin yang tidak sedang menjabat tetap bisa berperan besar dalam membentuk opini publik dan menggerakkan masyarakat.

Bukan Jabatan, Tapi Pengaruh yang Abadi
Sambutan luar biasa terhadap Anies Baswedan, meskipun ia tidak lagi menjabat, menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bukan soal posisi, melainkan soal pengaruh. Di era politik modern, di mana banyak pemimpin hanya diingat saat mereka masih berkuasa, fenomena ini menjadi bukti bahwa masyarakat masih menghargai sosok yang dianggap memiliki visi dan nilai yang kuat.
Jabatan bisa datang dan pergi, tetapi gagasan yang telah tertanam dalam benak masyarakat akan tetap hidup. Dan Anies, dengan segala kontroversi dan pencapaiannya, tampaknya masih memiliki panggung tersendiri di hati banyak orang.
Jadi, apakah Anies Baswedan benar-benar seorang “pengangguran”? Jika yang dimaksud adalah tidak memiliki jabatan resmi, maka ya. Tapi jika yang dimaksud adalah kehilangan pengaruh, kehilangan perhatian publik, atau kehilangan relevansi dalam percaturan politik, maka jawabannya jelas: tidak.
— Dwi Taufan Hidayat —