SORE itu, hujan turun rintik-rintik di halaman Museum Benteng Vredeburg. Seorang pria paruh baya, berpakaian rapi dengan kopiah hitam, berdiri menatap diorama Perang Jawa. Matanya tajam, penuh perasaan yang sulit diterjemahkan. Namanya Satrio, seorang sejarawan yang tengah meneliti sebuah misteri yang, bagi kebanyakan orang, sudah tak lagi dipersoalkan: nama asli Pangeran Diponegoro.
Di sudut lain museum, seorang pria bertubuh kekar dengan tatapan dingin memperhatikan Satrio dari kejauhan. Namanya Broto, seorang penjaga museum yang memiliki kepentingan lebih dari sekadar merawat benda-benda bersejarah.
Fragmen 1: Manuskrip yang Menghilang
Seminggu sebelumnya, Satrio menemukan sebuah manuskrip kuno di Perpustakaan Kraton Yogyakarta. Tulisan tangan itu memuat silsilah lengkap Pangeran Diponegoro, mencantumkan nama kecilnya, Bendara Raden Mas Mustahar, dan nama aslinya setelah dewasa, Bendara Raden Mas Antawirya. Namun yang paling mengejutkan adalah catatan di bagian bawah halaman terakhir:
“Nama Abdul Hamid bukanlah nama asli Pangeran Diponegoro. Itu adalah rekayasa sejarah yang sengaja ditanamkan demi kepentingan tertentu.”
Ketika Satrio kembali keesokan harinya untuk memeriksa ulang, manuskrip itu telah lenyap.
Fragmen 2: Pertemuan Rahasia
Malam itu, di sebuah warung kopi dekat Alun-Alun Utara, Satrio bertemu dengan seorang pria tua berjanggut putih yang mengaku sebagai keturunan abdi dalem era Diponegoro. Namanya Ki Suyatno.
“Kau mencari kebenaran yang tidak semua orang ingin kau temukan,” bisik Ki Suyatno.
Satrio meneguk kopinya, mencoba mengabaikan gemetar di tangannya.
“Kenapa ada yang ingin mengaburkan sejarah asli?” tanya Satrio.
Ki Suyatno menghela napas panjang. “Karena nama memiliki kekuatan. Nama bisa mengubah jalan sejarah. Ada kelompok yang ingin mengklaim Diponegoro sebagai milik mereka, dengan menanamkan nama lain agar warisannya tidak sepenuhnya menjadi milik kita.”
Fragmen 3: Bayangan di Museum
Di Museum Benteng Vredeburg, Satrio menyusun kembali potongan-potongan misteri. Namun, langkah kaki di belakangnya membuatnya tersadar bahwa ia tidak sendiri.
“Kau terlalu jauh menggali sesuatu yang seharusnya dibiarkan tetap terkubur,” suara Broto menggema di ruangan kosong.
Satrio berbalik, menatap pria yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya.
“Kau yang mencuri manuskrip itu?” tanya Satrio dengan suara bergetar.
Broto tersenyum tipis. “Aku hanya menjalankan perintah.”
Fragmen 4: Kebenaran yang Terkuak
Satrio tak tinggal diam. Dengan bantuan seorang jurnalis muda, Rina, ia melacak keberadaan manuskrip itu. Penyelidikan membawa mereka ke sebuah rumah tua di pinggiran Yogyakarta. Di dalamnya, mereka menemukan tumpukan dokumen sejarah yang dihapus dari catatan resmi.
Di antara dokumen itu, ada bukti tak terbantahkan bahwa nama asli Pangeran Diponegoro memang Bendara Raden Mas Antawirya.
Namun, sebelum mereka bisa membawa dokumen itu ke publik, Broto dan beberapa pria bertopeng menerobos masuk.
“Sudahi ini,” suara Broto terdengar tegas.
Rina berhasil merekam kejadian itu sebelum mereka diringkus.
Fragmen 5: Akhir yang Mengejutkan
Keesokan harinya, berita tentang penemuan dokumen asli Pangeran Diponegoro tersebar luas. Namun ada yang janggal—bukan Satrio atau Rina yang mengungkapkan kebenaran itu.
Di layar televisi, seorang tokoh berpengaruh dari kelompok yang selama ini mengklaim nama Abdul Hamid berdiri di depan podium.
“Kami dengan bangga mengungkap fakta bahwa nama asli Pangeran Diponegoro adalah Bendara Raden Mas Antawirya. Ini adalah warisan sejarah kami.”
Satrio membeku di tempatnya.
Mereka telah mengambil kebenaran yang ia perjuangkan, lalu membingkainya dalam narasi mereka sendiri.
Kebenaran telah terungkap, tapi siapa yang menguasainya? (Dwi Taufan Hidayat)