SUARA tawa dan derap kaki memecah suasana serius di lorong lantai dua Pengadilan Agama Bekasi. Tepat di depan ruang sidang 1 dan 3 itu, beberapa anak asyik menyusun balok warna-warni, bermain ayunan mini, atau menggambar dengan crayon di atas meja kecil. Mereka tak tahu, di balik dinding tempat mereka bermain, ayah dan ibu mereka sedang berhadapan di meja sidang, memperjuangkan akhir dari sebuah pernikahan.
Ruang bermain anak ini bukan sekadar tempat menunggu. Ia dirancang dengan kesadaran penuh bahwa anak-anak tak seharusnya menjadi korban dari konflik rumah tangga. Perceraian adalah proses yang sulit—bagi orang dewasa saja bisa begitu melelahkan, apalagi bagi anak-anak yang belum memahami sepenuhnya arti perpisahan. Di sinilah ruang bermain ini hadir, sebagai pelindung kecil yang memberi kesempatan pada anak-anak untuk tetap menjadi anak-anak.
“Anak-anak tidak perlu menyaksikan orang tuanya bertengkar atau bersitegang di ruang tunggu sidang. Mereka cukup tahu bahwa mereka masih punya hak untuk bermain dan bahagia,” ujar salah satu petugas pengadilan yang mengawasi ruang bermain.
Inisiatif ini lahir dari kepedulian. Selama ini, banyak anak-anak yang ikut orang tuanya ke pengadilan harus duduk berjam-jam di kursi tunggu, bosan dan kelelahan tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Kini, dengan adanya ruang bermain ini, mereka bisa mengisi waktu dengan bermain dan belajar, sekaligus mendapatkan terapi psikologis ringan yang membantu menjaga kondisi mental mereka di tengah situasi yang tidak ideal.
Keberadaan ruang bermain anak di lembaga peradilan ini sejalan dengan semangat Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2015, yang mendorong penyediaan ruang bermain ramah anak di berbagai institusi, termasuk instansi pemerintah. Tujuannya jelas: mendekatkan anak pada orang tua sambil tetap memberikan ruang tumbuh yang aman dan menyenangkan.
Bermain bukan hanya kegiatan santai bagi anak-anak. Secara ilmiah, bermain merupakan bagian penting dari proses belajar, perkembangan motorik, serta adaptasi terhadap lingkungan baru. Di tengah kehidupan perkotaan yang padat dan minim ruang hijau, ruang seperti ini menjadi oasis kecil bagi anak-anak yang sedang berada dalam masa sulit akibat perceraian orang tuanya.
Anak jangan selalu menjadi korban. Mereka harus tetap ceria di manapun mereka berada. Langkah kecil menyediakan tempat bermain tentu tak bisa menghapus luka akibat perceraian orang tua. Tetapi di situlah si anak dapat melepas tawa meski untuk sekejap. (*)