JAKARTAMU.COM | Di era digital ini, panggilan sayang sudah berevolusi sedemikian rupa. Kalau zaman dulu orang memanggil pasangannya dengan “Sayang,” “Cinta,” atau “Dinda-Kanda” ala sinetron kolosal, kini tren berubah. Kita hidup di zaman di mana panggilan romantis berbunyi “Ay” dan “Beb.” Dua kata yang terdengar sederhana, tapi mendominasi obrolan pasangan muda-mudi di media sosial, chat pribadi, hingga percakapan di tongkrongan.
Tapi pernahkah kita bertanya, dari mana sebenarnya asal-usul panggilan ini? Apakah berasal dari kisah cinta legendaris seperti Romeo dan Juliet? Ataukah dari budaya pop yang diciptakan para selebgram? Jangan-jangan, justru ini warisan dari dunia unggas!

Lihat saja gambar di atas. Seekor bebek menyapa dengan santai, “Hai Ay…” Sementara ayam menimpali dengan penuh kelembutan, “Hai Beb…” Tiba-tiba, kita seperti menemukan teori evolusi baru: jangan-jangan inilah asal muasal panggilan romantis yang kini mendunia. Para unggas sudah menggunakannya jauh sebelum manusia sadar bahwa “Ay” dan “Beb” bisa menjadi tren.
Romantisme Instan ala Generasi Ay-Beb
Fenomena ini sebenarnya menggambarkan bagaimana romansa berkembang di era serba cepat. Jika dulu cinta butuh proses panjang—dari berkenalan, bertukar surat cinta, hingga meminang dengan restu keluarga—kini cukup dengan satu chat:
“Pagi, Ay. Udah makan belum?”
“Met bobo, Beb. Jangan lupa mimpiin aku ya!”
Seolah-olah hubungan bisa dibangun hanya dengan panggilan manis tanpa kedalaman makna. Sama seperti ayam dan bebek dalam ilustrasi tadi, yang berkomunikasi dengan suara khasnya, manusia kini lebih fokus pada panggilan ketimbang makna dari hubungan itu sendiri.
Lihat saja, seseorang bisa memanggil satu orang dengan “Beb” hari ini, lalu besok panggil orang lain dengan panggilan yang sama. Tidak ada eksklusivitas. Sama seperti ayam yang bebas berkokok ke mana-mana atau bebek yang selalu berkwek-kwek tanpa arah, hubungan modern seringkali lebih cair daripada sekadar panggilan mesra.
Cinta di Era Notifikasi
Yang lebih ironis, di era ini panggilan “Ay” dan “Beb” lebih sering muncul dalam bentuk tulisan di layar gadget daripada diucapkan langsung dengan perasaan. Ada banyak pasangan yang lebih akrab di chat daripada dalam pertemuan nyata. Mereka bisa saling berbicara panjang lebar lewat teks, tapi ketika bertemu di dunia nyata malah sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Panggilan “Beb” yang tadinya terdengar hangat pun akhirnya menjadi sekadar notifikasi di layar. Cinta tak lagi tentang tatap mata, tetapi tentang seberapa cepat balasan chat muncul. Kita seperti ayam dan bebek yang saling berkicau, tapi tanpa benar-benar mendengar satu sama lain.
Dari Unggas ke Manusia, Akankah Kita Berhenti di Sini?
Jika benar tren “Ay” dan “Beb” ini berasal dari unggas, maka kita perlu bertanya: apakah kita ingin terus berkembang, atau justru tetap di titik ini? Apakah hubungan kita ingin lebih bermakna daripada sekadar panggilan manis yang bisa dilempar ke siapa saja?
Romantisme yang sejati bukan terletak pada seberapa sering kita menyebut “Beb” atau “Ay,” tapi pada bagaimana kita membangun hubungan yang penuh makna, bukan sekadar tren atau kebiasaan tanpa makna. Jangan sampai hubungan kita hanya sebatas obrolan di kandang ayam dan bebek, tanpa ada nilai yang lebih dalam.
Jadi, lain kali ketika seseorang memanggilmu “Ay” atau “Beb,” coba tanyakan dalam hati: apakah ini panggilan dari cinta sejati, atau sekadar insting unggas yang masih terbawa? (Dwi Taufan Hidayat)