BOGOR, JAKARTAMU.COM | Kemandirian perempuan menjadi salah satu isu utama yang dibahas dalam acara Baitul Arqom Pimpinan Aisyiyah se-Jakarta Timur pada 7-8 Februari 2025 di Pondok Pesantren Al Hikmah, Rancamaya, Bogor, Jawa Barat. Dalam acara ini, dr. Umi Sjarqiah, SpKFR, MKM, mengingatkan pentingnya kader Aisyiyah untuk menjadi pribadi tangguh dan berwawasan luas.
“Kader Aisyiyah tidak boleh lemah, harus pintar, harus cerdas, harus tangguh sehingga akan menjadi kader-kader yang militan,” ujar dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi dalam pemaparannya.
Isu kemandirian perempuan sesungguhnya melekat pada Aisyiyah sejak didirikan pada 19 Mei 1917 di Yogyakarta. Didirikan Siti Walidah, atau yang lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, bersama Kiai Haji Ahmad Dahlan, Aisyiyah konsisten bergerak di bidang pemberdayaan perempuan.
Hingga kini Aisyiyah terus berperan aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Apa yang diperjuangkan Aisyiyah sejalan dengan ajaran Islam, khususnya terkait kemandirian ekonomi perempuan. Rasulullah SAW menegaskan pentingnya bekerja dan berusaha dengan mandiri.
”Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada makanan yang diperoleh dari hasil kerjanya sendiri, sebab Nabi Allah, Daud, memakan makanan dari hasil kerjanya.” (H.R. Al-Bukhari)
Hadis ini menegaskan bahwa setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, dianjurkan untuk bekerja dan tidak bergantung kepada orang lain. Bahkan, dalam sejarah Islam, perempuan memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam perdagangan dan bidang ekonomi lainnya.
Al-Qur’an juga memberikan bukti bahwa perempuan memiliki hak untuk berusaha dan mengelola hartanya sendiri. Dalam Surah An-Nisa ayat 32, Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan…”.
Ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak membatasi peran perempuan dalam bekerja dan berusaha. Sejarah juga mencatat bagaimana perempuan ikut berperan dalam peperangan dengan bertugas sebagai tenaga medis, penyedia alat-alat perang, dan membantu para prajurit yang terluka.
Bahkan, banyak perempuan yang terlibat dalam dunia perdagangan dan pertanian, membantu perekonomian keluarga dan masyarakat. Dalam Islam, perempuan juga memiliki hak penuh atas harta yang mereka usahakan.
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa: 4)
Laporan Suryati Soekarno