Selasa, April 15, 2025
No menu items!

Bak Penertiban PKL, Aksi Demokrasi pun Digrebek Kamtib

Must Read

PADA menit-menit awal film Omong Besar (1988), kita disuguhi pemandangan khas Jakarta: Jamal (Deddy Mizwar) dan Kamil (Eeng Saptahadi) berdagang pakaian di pinggir jalan. Suasana santai berubah kacau begitu Kamtib—singkatan dari Keamanan dan Ketertiban—datang meniup peluit. Para pedagang pun lari tunggang-langgang. Adegan makin lucu ketika orang-orang yang sedang main catur di pinggir jalan ikut kabur, seolah semua warga jalanan adalah tersangka.

Film garapan Asrul Sani ini menyentil realitas keras masyarakat kelas bawah yang sering berhadapan langsung dengan aparat ketertiban. Dulu, Kamtib adalah wajah resmi penegak ketertiban. Kini, mereka berganti nama menjadi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), seiring terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun, semangat dan gaya kerja Kamtib tampaknya belum sepenuhnya pergi.

Pada Rabu, 9 April 2025, Satpol PP membubarkan massa aksi yang sedang berkemah di depan Gerbang Pancasila, Gedung DPR RI. Massa tersebut menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI dan UU Polri. Namun sayangnya, aspirasi itu malah dibalas dengan represif. Ironis, karena di negara demokratis, menyampaikan pendapat di muka umum dilindungi undang-undang.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung pun tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Satpol PP tidak boleh membubarkan demonstrasi. Itu bukan tugas mereka,” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (10/4/2025). Ia menegaskan bahwa tugas Satpol PP adalah menjaga ketertiban, bukan memadamkan suara rakyat.

Pernyataan Pramono selaras dengan semangat hukum yang berlaku. Menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2004, Satpol PP memang diberi wewenang untuk menindak pelanggaran ketertiban umum, termasuk tindakan represif non-yustisial terhadap pelanggaran Perda. Namun, tindakan tersebut tak boleh lepas dari prinsip-prinsip hukum, HAM, dan norma sosial yang berkembang dalam masyarakat.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005 bahkan memberikan protap yang lebih spesifik soal penanganan unjuk rasa. Namun, bukan berarti Satpol PP bisa bertindak semaunya. Ada rambu penting dalam Pasal 7 PP 32/2004: Satpol PP wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan wajib melakukan koordinasi dengan kepolisian jika situasi unjuk rasa mengarah pada tindak pidana.

Dalam makalahnya, HAM dalam Penanganan Unjuk Rasa oleh Satuan Pamong Praja (2011), Menunggal K. Wardaya menekankan bahwa meskipun ada legitimasi hukum bagi Satpol PP untuk melakukan penertiban, harus diingat bahwa ada hak-hak yang tak dapat dikurangi dalam situasi apa pun (non-derogable rights), seperti hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Penggunaan kekerasan yang tidak proporsional dalam membubarkan aksi bisa jatuh menjadi pelanggaran HAM.

Di sinilah pentingnya prinsip necessity dalam hukum internasional, khususnya dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Artinya, pembatasan hak hanya boleh dilakukan jika benar-benar diperlukan, misalnya untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum. Bahkan dalam kondisi darurat, hak untuk berkumpul secara damai tetap dijamin.

Sumu Kota Medan Dorong Kolaborasi Strategis Pemerintah-LP UMKM

MEDAN, JAKARTAMU.COM | Ketua Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) Kota Medan Muhammad Irsyad menyampaikan harapan untuk memperkuat kolaborasi lintas lembaga....
spot_img

More Articles Like This