Oleh: Andi Reza Rohadian | Jurnalis tinggal di Jakarta
BANJIR kembali melanda Jabodetabek. Air bah kali ini bahkan terasa lebih tragis karena datang di bulan Ramadan. Saat air bercampur lumpur itu merendam kawasan perumahan, para korban ada yang sedang melaksanakan salat tarawih, menunggu waktu sahur, bahkan ada yang sedang menikmati hidangan buka puasa.
Tak sulit mencari biang kelada dari banjir yang selalu berulang ini. Kita tak peduli dengan lingkungan. Masyarakat kecil banyak yang membuang sampah sembarangan, ke saluran air, bahkan sungai. Orang berpangkat membangun rumah peristirahatan di kawasan resapan air. Dan pejabat pemerintahan secara serampangan mengobral izin pembangunan proyek properti tanpa peduli peruntukkan lahan.
Kita ingat, beberapa tahun lalu orang sibuk membicarakan keberadaan vila-vila di Puncak, Kabupaten Bogor, milik pejabat dan jenderal-jenderal dari Jakarta. Pada tahun 2002 vila milik Gubernur DKI (kala itu) Sutiyoso terpaksa dirubuhkan lantaran berdiri di kawasan resapan air. Toh itu tak berarti pembangunan vila tanpa IMB di sana berhenti. Setelah musim banjir berlalu satu per satu vila anyar bermunculan bak cendawan.
Yang paling parah adalah pembangunan kawasan pariwisata Hibics di lahan perkebunan teh seluas 15.000 meter persegi milik PT Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero). Berdiri di atas kawasan hutan lindung, sarana pariwisata itu sebenarnya sudah disegel Pemerintah Kabupaten Bogor pada 12 Desember 2024.
Selain Hibics, tiga proyek lainnya juga akan dibongkar, yakni Eiger Adventure Land, Pabrik The Ciliwung di Telaga Saat, bangunan milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 2 Agro Wisata Gunung Mas.
Eiger mendapatkan izin dari Menteri Lingkunan Hidup dan Kehutanan tentang Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam pada Zona Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang ditandatangani tanggal 24 April 2019.
Berdiri di atas lahan seluas 325,89 hektare, kawasan wisata ini dilengkapi beragam atraksi wisata alam. Dari hiking, kemping, cultural walk, hingga jembatan gantung kelas dunia sepanjang 530 meter.
Ditengarai keberadaan empat proyek pariwisata itu punya andil dalam banjir bandang yang melanda kawasan Puncak. Bencana hidometeorologi itu berdampak terhadap 1.399 jiwa dari 381 keluarga. Selain merendam Cisarua, air bah juga menerjang Kecamatan Bojonggde, Kecamatan Rumpin, Kecamapat Parung Panjang. Banjir juga melanda pemukiman pensiunan pegawai PTPN VIII di kawasan Puncak.
Curah Hujan Lebih Rendah dari Tahun-Tahun Sebelumnya
Tak berlebihan jika proyek di kawasan hulu itu dituding sebagai biang keladi bencana banjir di Jabodebek tahun ini. Seperti disampaikan oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, curah hujan kali ini berkisar 103-141 mm per hari. Sedangkan musim hujan tahun 2020 yang juga menyebabkan banjir di Jakarta dan sekitarnya mencapai 236 mm per hari.
Sudah begitu, ujarnya saat memberi keterangan di Komisi V DPR, Selasa, 11 Maret 2024,”Banjirnya tak setinggi kali ini. “ Atas dasar itu, ia menyimpulkan banjir disebabkan faktor perubahan lingkungan dan tata kelola air.
Dwikorita benar. Coba perhatikan lingkungan di sekitar kita, berapa banyak lahan perkebunan rakyat, ladang, sawah, situ dan lapangan bola yang berubah fungsi. Ada yang menjadi kawasan industri, pergudangan, komplek perumahan, dll.
Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian PUPR RI, di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, atau Jabodetabek, terdapat 207 situ.
Di antaranya, DKI Jakarta 16 situ, Kota Bekasi 4 situ, Kabupaten Bekasi 14 situ, Kota Depok 26 situ, dan Kabupaten Tangerang 29 situ.
Kemudian, Kota Tangerang 8 situ, Kota Tangerang Selatan 9 situ, Kota Bogor 6 situ, dan Kabupaten Bogor 95 situ. Dari jumlah tersebut, 50 situ di antaranya sudah tidak ditemukan atau hilang dan beralih fungsi.
SKB Tiga Gubernur, Pembangunan Embung dan Bendungan
Dalam rangka mencegah banjir dan mencegah kerusakan ekositem, sebenarnya tiga Gubernur dari tiga provinsi (Jawa Barat, Banten, DKI) pada tahun 2002 pernah menandatangani sebuah kesepakatan untuk saling berkordinasi dan membangun sistem pengelolaan tata ruang dan lingkungan hidup yang terintegrasi.
Toh tidak ada hasilnya. Tak salah jika executive headhunter & HR consultant, Leigh McKiernon.dari Inggris mengkritik aktivitas rapat yang terlalu sering di Indonesia. Menurutnya, rapat di Indonesia hanya sekadar menunjukkan para eksekutif di institusi pemerintah maupun korporasi telah bekerja. Padahal,”Hasilnya nol,” ujarnya dalam sebuah postingan di media sosial.
Sesungguhnya pula, dalam rangka mencegah banjir Presiden ke-7 RI Joko Widodo telah membangun Bendungan Ciawi dan Sukamahi di Kabipaten Bogor. Saat meresmikan bendungan itu pada Desember 2022, ia menyebut kedua bendungan akan mampu mengendalikan banjir di 12 kelurahan di Jakarta.
Dibangun dengan dana Rp1,3 triliun kedua bendungan disebut mampu mereduksi dari 464 juta meter kubik air menjadi 318 juta meter kubik. “Nnati ada 12 kelurahan yang akan menjadi tidak terdampak (banjir) lagi karena ada waduk Ciawi dan Sukamahi ini,” kata Jokowi dikutip dari Kompas.com, Jumat (23/12/2022).
Selain itu, selama 10 tahun pemerintahannya Jokowi juga telah membangun 5.500 embung. Sebagai penampung air baku, embung juga bertujuan untuk mengatasi krisis air dan mengatasi banjir.
Kementerian Pekerjaan Umum sendiri menyatakan penyebab banjir di Jakarta awal Maret lalu adalah curah hujan yang ekstrem, mencapai 356 mm per hari.
Coba perhatikan data yang disampaikan Kementerian PU dengan BMKG. Siapa yang bisa dipercaya masyarakat? BMKG sebagai lembaga yang berwenang menerbitkan data tentang kebencanaan melansir angka curah hujan 103-141 mm per hari saat banjir melanda Bekasi dan Jakarta. Sedangkan Kementerian PU menyodorkan angka 356 mm per hari.
Yang penting sekarang adalah semua pihak wajib menjaga lingkungan masing-masing secara ketat. Jangan sampai ada lahan yang berubah fungsi dari wilayah serapan air menjadi kawasan bisnis.
Jangan lagi kita hanya sibuk mengulas biang kerok banjir saat bencana datang, tapi setelah berlalu kita lantas melupakan. Kalau itu yang terjadi, tahun depan dan selanjutnya kita akan terus terperosok ke lubang yang sama. (*)