JAKARTAMU.COM | Beberapa aspek hukum berkaitan dengan puasa disampaikan Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat”. Pada tulisan ini kita membahas dua aspek hukum, yakni mereka yang sakit, kedua musafir.
Faman kana minkum maridha
Siapa di antara kamu yang menderita sakit. “Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua,” kata Quraish.
- Penderita tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan 2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa.
Quraish menjelaskan sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka.
Ulama besar Ibnu Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadan, dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persoalan ini.
Teks ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. “Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Allah SWT sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak,” kata Quraish.
Di sisi lain, katanya, harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.
Aw’ala Safarin (atau dalam perjalanan)
Menurut Quraish, ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah).
Perbedaan lain berkaitan dengan ‘illat (sebab) izin ini. Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan.
Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar salat atau tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.
Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak salat).
Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya?
Agaknya, alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak salatnya.
Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat kemudahan dari Allah SWT?
Musafir, Lebih Utama Berpuasa atau Berbuka?
Pada ulama berselisih tentang apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka?
Imam Malik dan imam Syafi’i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi’i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama.
Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, “Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadan, ada yang berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa.”
Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, “Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan.”
Pendapat Ulama Syi’ah dan Zhahiriyah, Wajib Berbuka
Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi’ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu:
Fa ‘iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).
Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, “Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Kalimat “lalu ia tidak berpuasa” adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.
Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi’ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian –buat mereka– menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas.
Apakah Membayar Puasa Harus Berturut-turut?
Quraish Shihab mengatakan ada sebuah hadis –tetapi dinilai lemah– yang menyatakan demikian. Akan tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah ra yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi’at, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadha’) itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan.
Tetapi kata mutatabi’at dalam fa ‘iddatun min ayyamin ukhar mutatabi’at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah SWT. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.
Apakah Mengganti Puasa Harus Segera?
Meng-qadha’ (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadan berikut?
Quraish Shihab mengatakan hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik.
Nah, bagaimana kalau Ramadan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu?
Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.