JAKARTAMU.COM | Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang salah memahami antara tawakal dan pasrah. Keduanya sering kali dipakai bergantian, seolah bermakna sama. Padahal, dalam pandangan Islam, keduanya memiliki makna dan sikap batin yang sangat berbeda. Perbedaan ini bukan sekadar istilah, tetapi menyangkut sikap ruhani seorang hamba terhadap Rabb-nya, terhadap ikhtiar hidupnya, dan terhadap bagaimana ia menyambut takdir Allah yang datang kepadanya.
Tawakal adalah bagian dari iman. Ia bukan bentuk menyerah, melainkan wujud dari keyakinan yang kokoh bahwa setelah segala daya upaya dilakukan, setelah langkah-langkah dikerahkan semampunya, maka Allah-lah yang menentukan hasilnya. Tawakal itu aktif. Ia bekerja, bergerak, berpikir, berstrategi, berjuang, lalu menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah.
Sedangkan pasrah yang salah—yang sering dimaknai sebagai diam tanpa usaha, tidak bergerak, dan hanya menunggu takdir datang—bukanlah ajaran Islam. Itu bukan tawakal, itu kemalasan yang dibungkus religiusitas. Sungguh ini penipuan terhadap diri sendiri, dan bisa menjauhkan seseorang dari keikhlasan amal dan keberkahan hidup.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hakikat tawakal melalui sabda beliau:
ﻟَﻮْ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻮَﻛَّﻠُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺣَﻖَّ ﺗَﻮَﻛُّﻠِﻪِ ﻟَﺮُﺯِﻗْﺘُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻳُﺮْﺯَﻕُ ﺍﻟﻄَّﻴْﺮُ ﺗَﻐْﺪُﻭ ﺧِﻤَﺎﺻًﺎ ﻭَﺗَﺮُﻭﺡُ ﺑِﻄَﺎﻧًﺎ
“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung: pergi di pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih)
Perhatikanlah bagaimana Rasulullah menggunakan perumpamaan burung. Burung itu tidak hanya duduk di sarangnya menunggu rezeki turun dari langit. Ia terbang. Ia menjelajah. Ia mencari. Ia lelah. Tapi hatinya penuh yakin bahwa Allah tidak akan membiarkannya kelaparan. Maka pulanglah ia dengan perut kenyang, bukan karena kepandaiannya, tapi karena rahmat Allah atas usaha yang tidak sia-sia.
Al-Qur’an sendiri memerintahkan tawakal setelah adanya amal. Dalam banyak ayat, Allah menyandingkan tawakal dengan tindakan:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran: 159)
Lihatlah: ada musyawarah, ada tekad yang dibulatkan, ada keputusan yang diambil—semua itu bagian dari usaha manusia. Barulah setelah itu tawakal datang, bukan sebelumnya.
Tawakal adalah kesadaran bahwa kita bukan pemilik hasil, hanya pelaku sebab. Bahwa tidak ada yang bisa menjamin suksesnya rencana kita, sehebat apapun upayanya, jika Allah tidak mengizinkan. Tawakal membebaskan hati dari kegelisahan karena ia bersandar penuh pada ketetapan Tuhan yang Maha Bijaksana.
Sebaliknya, pasrah tanpa usaha justru mencederai hakikat manusia sebagai makhluk yang diberi akal, tenaga, dan kehendak. Islam tidak memerintahkan kita untuk menjadi pasif. Bahkan dalam kisah Nabi Musa ‘alaihissalam pun, saat di depan Laut Merah dan dikejar Firaun, Allah tidak memerintahkannya duduk diam menunggu mukjizat. Nabi Musa tetap berjalan. Tetap melangkah. Hingga saat yang tepat, laut terbelah. Usaha dan tawakal menyatu dalam sikap seorang nabi.
Maka, jangan pernah menyamakan tawakal dengan pasrah. Jangan mencampuradukkan keimanan dengan kemalasan. Mari jadikan tawakal sebagai bagian dari ruh perjuangan kita: belajar sungguh-sungguh, bekerja sebaik-baiknya, berdoa setulusnya, lalu berserah seutuhnya.
Karena Allah tidak menilai hasil, tapi menilai ikhtiar.
Dan jika Allah mencintai seorang hamba karena tawakalnya, maka segala urusan akan dimudahkan baginya, sebab ia telah menyerahkan semua kepada Sang Pemilik Takdir.
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.” (QS. At-Talaq: 3)