JAKARTAMU.COM | Pada masa penjajahan Belanda, sistem pendidikan terbagi ke dalam 2 (dua) jenis: pendidikan umum dan pendidikan Islam.
Istilah pendidikan umum ini sebenarnya secara eksplisit tidak terdapat dalam literatur resmi, terlebih juga bisa saja diperdebatkan.
“Kalau mau disebut lebih tegas sebenarnya sistem pendidikan sekuler,” tulis Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed dalam buku berjudul “KH Ahmad Dahlan” Bab “Pembaharuan Pendidikan KH Ahmad Dahlan” (Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015).
“Namun umumnya masyarakat lebih paham dengan istilah pendidikan umum, sekolah umum,” jelas Mu’ti.
Pada masa awal penjajahan, ketika VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) yang berkuasa, sebenarnya corak pendidikan Kristen juga sudah ada. Namun pada akhirnya yang menguat dari pemerintah adalah pendidikan yang tidak memasukkan agama di dalamnya.
Sementara itu di sisi lain pendidikan Islam juga menguat dengan pesantren sebagai basis institusinya. Maka pada gilirannya, dua pola sistem pendidikan inilah yang menjadi arus utama sistem pendidikan kala itu.
Pendidikan Umum
Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada 1619 M, yaitu ketika Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta.
Secara umum, penjajahan Belanda ini dapat dibagi ke dalam 2 (dua) periode: masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie).
Awalnya, kedatangan Belanda ke Indonesia adalah murni untuk kepentingan ekonomi. Kekayaan sumber daya alam Indonesia terutama rempah-rempahnya sangat menarik perhatian Belanda. Untuk kepentingan inilah kemudian mereka mendirikan semacam badan/organisasi dagang yang dikenal dengan VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie/Perkumpulan Dagang India Timur).
Organisasi ini didirikan pada tanggal 20 Maret 1602, atas prakarsa Pangeran Maurits dan Olden Barneveld.
Pengurus pusat VOC terdiri dari 17 orang. Pada tahun 1602 VOC membuka kantor pertamanya di Banten yang di kepalai oleh Francois Wittert.
Seiring dengan berjalannya waktu, Belanda kian menyadari akan kekayaan sumber daya alam negeri seribu pulau ini. Indonesia ternyata tidak hanya kaya rempah-rempah. Secara keseluruhan Indonesia adalah percikan surga. Negeri kaya raya dengan berbagai macam potensi dan kekayaan alam di dalamnya.
Hal inilah yang membuat Belanda betah berlama-lama di Indonesia dan bermaksud mengekalkan penjajahannya.
Motif awal yang hanya sekadar ingin mengeruk keuntungan ekonomi kemudian berkembang ke sektor politik. Belanda ingin menduduki Indonesia di bawah pemerintahannya.
Motif inilah kemudian yang membawa konsekuensi pada banyak hal, termasuk sektor pendidikan.
Secara umum sistem pendidikan yang ada pada masa VOC adalah: 1) Pendidikan Dasar, 2) Sekolah Latin, 3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari), 4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan), 5) Sekolah Cina, 6) Pendidikan Islam.
VOC sendiri sebenarnya lebih cenderung pada kepentingan ekonominya. Namun tak dapat dipungkiri di lain pihak dia juga mendukung sekolah Kristen.
Hal ini dibuktikan dengan adanya satu pasal dalam hak actroi VOC yang berbunyi: ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah”.
Ketika Van den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Batavia pada tahun 1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah.
Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu dan di tiap daerah Kepresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
Setelah VOC dibubarkan, pemerintahan baru mempunyai paham yang relatif berbeda. Pemerintahan baru ini banyak yang beraliran sekuler-liberal. Karena itulah mereka memandang bahwa orientasi pendidikan harus diarahkan pada sektor politik dan ekonomi.
Terlebih setelah muncul banyak protes dari pihak Islam berkenaan dengan adanya pengajaran agama Kristen di sekolah pemerintah. Padahal sebagian banyak muridnya beragama Islam.
Akhirnya pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah satu agama sehingga sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. dan pemerintah melindungi tempat peribadatan agama (Indiches Staat Regeling, pasal 173-174).
Peraturan tahun 1863 mewajibkan Gubernur Jendral untuk mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumi putra pada umumnya menikmati pendidikan.
Pada tahun ini muncullah masa baru dengan adanya undang-undang Agraria dari De Waal, yang memberi kebebasan pada pengusaha-pengusaha pertanian partikelir.
Usaha-usaha perekonomian makin maju, masyarakat lebih banyak lagi membutuhkan pegawai. Sementara sekolah-sekolah yang ada dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka usaha mencetak calon-calon pegawai makin dipergiat lagi.
Meskipun untuk kalangan terbatas, pada masa ini penduduk pribumi semakin banyak yang menikmati pendidikan.
Selanjutnya pada tahun 1893 muncullah apa yang disebut dengan diferensiasi pengajaran bumi putra. Suatu kebijakan yang merekomendasikan adanya sekolah-sekolah untuk bumi putra. Untuk mengatur dasar-dasar baru bagi pengajaran bumi putra, keluarlah indisch staatsblad 1893 nomor 125 yang membagi sekolah bumi putra menjadi dua bagian.
Pertama, sekolah-sekolah kelas I. Sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak priyayi dan kaum terkemuka. Lama sekolah kelas I ini 5 (lima) tahun. Sekolah ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, sektor perdagangan, dan perusahaan.
Adapun mata pelajaran yang dipelajari terdiri dari: membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, dan ilmu ukur. Pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu.
Pada tahun 1914 sekolah ini diubah menjadi HIS (Hollands Inlandse School) dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
Kedua, sekolah-sekolah kelas II. Sekolah ini diperuntukkan bagi rakyat jelata. Lama sekolah 3 tahun. Tujuan pendidikan ini adalah untuk memenuhi pengajaran di kalangan masyarakat umum.
Materi yang dipelajari adalah membaca, menulis, dan berhitung. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu.
Pada 1914 istilah sekolah kelas II dijadikan istilah untuk sekolah lanjutan (vervolg/sekolah sambungan) yang merupakan lanjutan dari Sekolah Desa.
Bayar Utang
Setelah sekian lama mengeruk keuntungan ekonomi, Belanda agaknya merasa terpuaskan. Maka pada tahun 1899 Van Devender mencetuskan politik etis.
Menurutnya, sebagaimana dijelaskan dalam tulisannya yang berjudul “Hutang Kehormatan” dalam majalah De Gids, sudah semestinya Belanda membayar utang pada bumi putra. Salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan kepada penduduk bumi putra.
Namun jika dicermati sebenarnya bukanlah demikian maksud yang sesungguhnya. Bagaimana pun corak pendidikan yang dikembangkan dimaksudkan untuk mendukung keberlangsungan pemerintahan Belanda.
Di sisi lain saat itu gerakan nasional mulai muncul. Dalam konteks ini sangat jelas bahwa politik etis yang dilancarkan Belanda adalah dalam rangka menundukkan generasi muda dengan doktrin mereka agar tidak bangkit melawan penjajahan.
Namun apa pun kiranya maksud mereka, politik etis ini tetap memberikan kontribusi positif bagi kemajuan pendidikan bumi putra.
Secara umum, sistem pendidikan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) sosial yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, yaitu:
Pertama, Sekolah Rendah (Lagere Onderwijs). Sekolah ini terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
1) Sekolah rendah Eropa yang disebut dengan ELS (Europese Lagere school).
Sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau Bumi Putra dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818,
2) Sekolah Cina Belanda yang disebut dengan HCS (Hollands Chinese school) yang ditempuh selama 7 (tujuh) tahun.
Sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak keturunan timur asing, khususnya keturunan Cina.
3) Sekolah Bumi Putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), ditempuh selama 7 (tujuh) tahun.
Sekolah ini diperuntukkan bagi penduduk penduduk asli Indonesia. Pada umumnya sekolah ini disediakan untuk anak-anak golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri.
Kedua, Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah. Sekolah ini terdiri dari:
1) Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede Klasee).
Sekolah ini disediakan untuk golongan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun.
2) Sekolah Desa (Volksschool).
Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra. Lamanya sekolah tiga tahun.
3) Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool).
Lamanya dua tahun merupakan kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali didirikan pada tahun 1914.
4) Sekolah Peralihan (Schakelschool)
Ketiga, Sekolah Lanjutan Menengah. Sekolah ini terdiri dari:
1) MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai empat tahun.
Yang pertama didirikan pada tahun 1914 dan diperuntukkan bagi golongan bumi putra dan timur asing. Sejak zaman Jepang hingga sampai sekarang bernama SMP.
Sebenarnya sejak tahun 1903 telah didirikan kursus MULO untuk anak-anak Belanda, lamanya dua tahun.
2) AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO berbahasa Belanda dan diperuntukkan golongan bumi putra dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915.
AMS ini terdiri dari dua jurusan (afdeling=bagian), Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (pengetahuan alam ) pada zaman jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan disebut SMA.
3) HBS (Hoogere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah menengah kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan golongan bumi putra atau tokoh-tokoh terkemuka.
Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda dan berorientasi ke Eropa Barat, khususnya bercirikan pada Belanda. Lama sekolahnya tiga tahun dan lima tahun.
Keempat, Sekolah Kejuruan (vokonderwijs). Sekolah ini terdiri dari antara lain:
1) Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah dan menerima sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan (vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang. didirikan pada tahun 1881.
2) Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS atau schakel. Tujuan sekolah ini adalah untuk mendidik dan mencetak mandor jurusannya antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piñata batu.
3) Sekolah teknik (Technish Onderwijs). Ini adalah sekolah lanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah ini bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah di bawah insinyur.
Kelima, sekolah tenaga ahli. Sekolah ini terdiri dari:
1) Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School). Sekolah Tehnik Tinggi ini yang diberi nama THS didirikan atas usaha yayasan pada 1920 di Bandung. THS adalah sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia, lama belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB.
2) Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school). RHS didirikan pada tahun 1924 di Jakarta. Lama belajarnya 5 tahun, yang pertama AMS dapat diterima di RHS. Tamatan ini dijadikan jaksa atau hakim pada pengadilan.
Di samping sekolah tehnik, didirikan juga Pendidikan Tinggi Kedokteran. Bahasa pengantarnya bahasa melayu.
Pada tahun 1902 sekolah dokter Jawa diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen) yang menerima lulusan ELS, dan berbahasa pengantar Belanda. Lama belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat penerimaannya ditingkatkan menjadi lulusan MULO.
Pada tahun 1913 di samping STOVIA di Jakarta didirikan sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) yang lama belajaranya 6 tahun dan menerima lulusan AMS dan HBS.
Jika diperhatikan, kata Mu’ti, ada 2 ciri mendasar bagi sekolah-sekolah yang didirikan Belanda.
Pertama, sekolah-sekolah ini netral dari agama (sekuler). Tidak ada materi agama di dalamnya. Tujuan pendidikan ini murni pragmatis yaitu untuk mengisi pos-pos pekerjaan untuk mendukung pemerintahan Belanda, terutama sektor ekonomi.
Kedua, diatur berdasarkan strata sosial. Ini berkaitan dengan kepentingan politik Belanda. Salah satu tujuan utama pendidikan adalah untuk mencetak orang-orang tertentu yang nantinya akan mendukung kekuasaan Belanda.
Pada konteks ini, Belanda memilih kelas aristokrat untuk dijadikan priyayi dalam rangka mendukung kepentingan Belanda.
Kedua ciri ini berimplikasi serius pada ranah sosial. Absennya pendidikan agama dari sekolah-sekolah mengakibatkan agama terdiskreditkan baik secara politik maupun dalam pandangan masyarakat.
Sekolah-sekolah Islam yang berada di pesantren dianggap sebagai sekolah kelas dua yang tidak terlalu penting.
Pesantren adalah lembaga pendidikan nonformal yang konotasinya adalah pendidikan yang tidak terlalu penting. Hal kemudian memicu antipati yang mendalam bagi kalangan agamawan terhadap Belanda.
Belanda adalah penjajah kafir. Semua yang datang dari Belanda adalah juga sistem kafir. Hal ini kemudian juga berdampak pada kebencian terhadap “ilmu-ilmu umum” yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda.
Jika sekolah Belanda meminggirkan dan menganggap tidak penting materi-materi agama. Sebaliknya, pesantren meminggirkan dan menganggap tidak penting materi-materi umum.
Pada konteks ini, pesantren sebenarnya juga telah melakukan “sekularisasi” dalam bentuk lain. Termasuk dalam hal yang dibenci dan harus dijauhi adalah semua sistem, sarana prasaran, bahkan semua aksesoris yang datang dari Belanda.
Semua itu adalah kafir. Menyontek-nyontek semua yang datang dari Belanda berarti menyerupakan diri dengan orang kafir dan pada gilirannya juga menjadi kafir.
Pada konteks ini umat Islam sebenarnya mengalami kerugian baik secara politik maupun budaya.
Secara politik umat Islam jelas menjadi terdiskreditkan, terpojok, bahkan selalu dicurigai. Sikap konfrontatif umat Islam mempersempit gerak terutama ketika akan memasuki ranah formal.
Di samping itu, pengajaran pendidikan Islam yang hanya terbatas pada “ilmu-ilmu agama” juga mempersempit kompetensi keilmuan umat Islam itu sendiri. Bagaimana pun, ilmu-ilmu itu sangat penting terutama untuk memajukan kehidupan.
Harus diakui juga bahwa sistem pendidikan Belanda sudah relatif maju jika dibandingkan dengan sistem pendidikan Islam. Akibatnya umat Islam semakin tertinggal jauh di segala bidang.
Problematika ini tentunya tidak terbaca oleh umat Islam yang nota bene saat itu telah terkungkung dalam situasi penjajahan. Mereka mengalami mental block akibat kebencian dan sentimen yang begitu tinggi terhadap kaum penjajah.
Pada konteks inilah kehadiran seorang pembaharu sangat dibutuhkan. Seorang pembaharu yang bisa melihat persoalan dengan kacamata luar sehingga dapat memosisikan dirinya secara tepat di antara penjajah yang eksploitatif dan pribumi yang sentimentil.
Selanjutnya, pembedaan strata sosial mengakibatkan penduduk pribumi terbelah ke dalam dua kutub sosial yang saling berlawanan, yaitu; kaum aristokrat/priyayi di satu sisi dan rakyat jelata di sisi yang lain.
Kaum priyayi umumnya dijadikan pegawai-pegawai Belanda. Tentu saja mereka loyal dan membela kepentingan-kepentingan Belanda karena mereka hidup dari jasa Belanda.
Hal ini mengakibatkan rasa iri bahkan sentimen dan kebencian dari kelompok masyarakat jelata. Mereka menyebut para aristokrat itu sebagai antek Belanda.
Situasi semacam inilah yang kemudian menyebabkan masyarakat mudah diadu domba. Inilah situasi yang diharapkan Belanda yang kemudian dimanfaatkan secara tepat dengan strategi politik belah bambu (devide impera).