Cerbung: Dwi Taufan Hidayat
Suara letusan senapan terdengar memecah keheningan pagi di sebuah desa di Magetan. Asap mesiu masih menguar di udara ketika seorang bocah lelaki berlari tertatih di antara reruntuhan rumah yang terbakar. Namanya Loekas, baru berusia tujuh tahun, namun dalam sorot matanya telah tergambar ketakutan yang tak semestinya dimiliki anak seusianya.
Belanda kembali datang ke Magetan, merampas hasil bumi dan menindas rakyat. Ayahnya, seorang petani yang juga pejuang bawah tanah, tertembak mati di depan rumah mereka. Ibunya menjerit, namun tangannya terulur menahan Loekas agar tidak berlari mendekat. “Jangan keluar, Nak!” bisiknya sambil menahan tangis.
Malam itu menjadi awal bagi Loekas untuk memahami bahwa tanah airnya dijajah oleh bangsa asing yang tak mengenal belas kasihan. Ia bersumpah dalam hati, kelak dirinya akan menjadi duri dalam daging bagi mereka.
Tahun demi tahun berlalu. Loekas tumbuh menjadi pemuda lincah, cerdas, dan berani. Ia belajar mengaji pada Kyai Haji Noer Alie, yang kelak menjadi rekan seperjuangannya di Bekasi. Di bawah bimbingan kyai dan para pemuda pejuang lainnya, ia mulai mengenal strategi perang gerilya.
Saat Jepang masuk ke Indonesia, Loekas tak tinggal diam. Ia bergabung dengan kelompok pemuda yang melakukan sabotase terhadap tentara Jepang. Dari sinilah ia belajar cara menyusup, bersembunyi, dan melawan.
Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 membawa harapan baru. Loekas bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan dengan cepat naik pangkat berkat kepiawaiannya. Namun, Belanda tidak tinggal diam. Mereka datang kembali dengan pasukan NICA, dan perang pun berkobar lagi.
Di sinilah perjalanan Loekas sebagai Begundal van Karawang dimulai. Dari Magetan, ia dipindahkan ke Karawang dan Bekasi untuk bergabung dengan Kompi Siliwangi. Bersama para pejuang lainnya, ia mulai melancarkan serangan-serangan terhadap Belanda.
Loekas bukan sembarang prajurit. Ia ahli dalam penyamaran dan sering menyusup ke barak Belanda dengan mengenakan seragam musuh. Tak jarang, ia masuk ke markas mereka hanya untuk mencuri dokumen penting atau bahkan membunuh perwira tinggi mereka sebelum menghilang tanpa jejak.
Namun, keberaniannya itu membuatnya menjadi musuh utama Belanda. Mereka menyebutnya “Begundal dari Karawang”—seorang prajurit yang tak bisa ditangkap, tak bisa dibunuh, dan selalu membawa malapetaka bagi mereka.
Di tengah semua itu, Loekas harus menghadapi dilema besar. Ia bukan hanya seorang prajurit, tetapi juga manusia yang memiliki hati dan perasaan. Dalam keheningan malam, di sela-sela peperangan, ia sering teringat wajah ibunya yang ia tinggalkan di Magetan. Ia tahu, perjuangannya belum selesai.
(Bersambung seri ke-2: “Sabotase di Rel Kereta”)