LANGIT Bekasi masih kelam ketika kabar itu sampai ke telinga Loekas Kustaryo. Di sebuah rumah persembunyian di pinggiran rawa, seorang kurir datang tergesa-gesa, napasnya memburu.
“Kapten, Belanda mengerahkan pasukan besar dari Jakarta. Mereka menyisir setiap desa, menanyai penduduk, bahkan menangkap orang yang dicurigai!”
Loekas mengepalkan tangannya. Sudah ia duga, serangan mereka di Bekasi akan membuat Belanda murka. Tapi ia tak menyangka bahwa balasan mereka akan secepat ini.
“Kemana mereka bergerak sekarang?” tanya Saman, yang masih sibuk membalut luka Burhan.
“Dari laporan terakhir, mereka menuju Karawang, memperketat patroli di sekitar Rawagede.”
Seketika ruangan itu menjadi hening. Rawagede bukan sekadar desa bagi Loekas dan pasukannya. Itu adalah tempat rakyatnya, orang-orang yang selama ini menyembunyikan mereka, memberi makan, merawat yang terluka. Jika Belanda sampai ke sana…
Loekas menatap pasukannya. “Kita harus buat mereka kehilangan arah. Aku tak akan membiarkan mereka menyentuh Rawagede.”
Strategi Mengelabui Musuh
Malam itu, Loekas merancang rencana. Ia tahu Belanda memiliki satu kelemahan: mereka bergantung pada informasi mata-mata dan pengkhianat lokal. Jika informasi yang mereka terima bisa dikacaukan, Belanda akan kehilangan jejak mereka.
“Jatmiko, kau ke Babelan. Sebarkan desas-desus bahwa kita bergerak ke timur, menuju Cikampek,” perintah Loekas.
Jatmiko mengangguk, lalu bergegas pergi.
“Saman, bawa sebagian pasukan ke Rengasdengklok. Ciptakan gangguan kecil, buat Belanda berpikir kita ada di sana.”
Saman tersenyum, matanya berkilat. “Mengalihkan perhatian mereka? Dengan senang hati.”
Loekas lalu berbalik ke Burhan. “Kau tetap di sini. Luka itu masih butuh waktu.”
Burhan menggerutu, tetapi ia tahu tak bisa membantah.
Dengan strategi ini, Loekas berharap Belanda akan terpancing dan menyebar kekuatan mereka. Jika pasukan musuh tidak terkonsentrasi di satu titik, mereka bisa lebih mudah bergerak.
Namun, meski rencana ini cermat, ada satu hal yang tidak mereka perhitungkan: Belanda sudah memiliki informan di antara mereka.
Penyergapan di Pinggir Sungai
Dua hari setelah rencana dijalankan, Loekas dan kelompok kecilnya menyusuri Sungai Citarum, bergerak menuju titik pertemuan dengan Saman di Rengasdengklok.
Tapi ketika mereka mencapai sebuah tanjung kecil, suara-suara mencurigakan terdengar dari kejauhan.
“Berhenti,” bisik Loekas.
Mereka merunduk di balik semak-semak. Dari kejauhan, terlihat siluet pasukan Belanda yang sedang bersiap di seberang sungai.
“Mereka sudah menunggu kita…” ujar seorang prajurit dengan suara tegang.
Loekas menyipitkan mata. Itu berarti rencana mereka bocor. Belanda tahu ke mana mereka akan pergi.
“Kita harus putar arah,” bisik Loekas.
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, suara tembakan mendadak meletus dari belakang.
“Mereka di sana!”
Pasukan Belanda yang lain muncul dari balik pepohonan. Loekas dan anak buahnya kini terjepit.
“Berlindung!” teriaknya.
Mereka segera berhamburan mencari perlindungan di balik pohon dan batu-batu besar. Suara tembakan bersahut-sahutan, peluru menghantam air sungai, memercikkan buih ke udara.
Loekas menembak satu prajurit Belanda yang mencoba mendekat. Tapi jumlah mereka terlalu banyak.
“Kapten, kita harus keluar dari sini!” seru salah satu prajuritnya.
Loekas tahu mereka tidak bisa bertahan lama. Dengan cepat, ia mencari celah di antara kepungan musuh.
“Sungai! Kita menyelam dan keluar dari sisi lain!”
Tanpa ragu, satu per satu anak buahnya melompat ke dalam air, membiarkan arus membawa mereka menjauh dari tembakan musuh.
Loekas adalah yang terakhir melompat. Saat tubuhnya menyentuh air yang dingin, ia sempat melihat seorang tentara Belanda berseru kepada komandannya, “Tangkap dia hidup-hidup! Itu Loekas Kustaryo!”
Loekas menahan napas dan membiarkan tubuhnya hanyut. Ia tahu, ini baru permulaan.
(Bersambung seri ke-11: “Pelarian di Tengah Kepungan”)