Selasa, April 15, 2025
No menu items!

Begundal van Karawang (18): Menyusup ke Bekasi

Must Read

BRAK! BRAK! BRAK!

Suara gebrakan keras menggema di pintu depan rumah Pak Karim. Di luar, derap sepatu pasukan Belanda terdengar jelas, disertai perintah dalam bahasa yang kasar.

“Dalam nama Ratu Belanda, buka pintu atau kami dobrak!”

Pak Karim menatap Loekas dan kelompoknya dengan wajah tegang. “Mereka sudah datang! Kalian harus pergi sekarang!”

Loekas langsung bergerak. Tanpa perlu banyak bicara, ia, Burhan, dan Rasyid merayap ke bagian belakang rumah, tempat sebuah lorong kecil mengarah ke gudang penyimpanan beras.

“Dari sini?” tanya Burhan setengah berbisik.

Pak Karim mengangguk. “Ada saluran air di belakang gudang, cukup besar untuk kalian lolos. Pergi sekarang!”

Tepat saat mereka masuk ke dalam gudang, pintu depan rumah Pak Karim didobrak dengan paksa. Belanda menyerbu masuk, senjata teracung, mata mereka liar mencari buruan.

“Di mana mereka?!” bentak seorang sersan.

Pak Karim berpura-pura gemetar, suaranya dibuat serak. “Saya tidak tahu, Tuan. Saya hanya pedagang beras!”

Seorang tentara mendorongnya ke dinding, senapan menekan dadanya. “Jangan berbohong! Kami tahu mereka ada di sini!”

Sementara itu, di belakang rumah, Loekas dan kawan-kawan sudah merayap ke dalam saluran air yang sempit dan gelap. Lumpur dan bau anyir memenuhi hidung mereka, tapi tak ada pilihan lain.

“Terus jalan!” bisik Loekas.

Mereka merangkak perlahan di lorong yang sempit, mendengar suara teriakan dari rumah Pak Karim yang semakin jauh. Setelah hampir lima puluh meter, lorong itu berakhir di sebuah parit yang mengarah ke ladang tebu.

Loekas mengintip. “Aman. Ayo keluar.”

Satu per satu mereka melompat ke luar, bersembunyi di antara batang-batang tebu yang tinggi. Malam semakin larut, dan mereka harus bergerak cepat sebelum patroli Belanda menyisir area ini.

Perjalanan Berbahaya Menuju Bekasi

Dengan tubuh penuh lumpur, mereka berjalan menyusuri ladang tebu. Bekasi masih berjarak beberapa kilometer, dan mereka harus berhati-hati agar tidak tertangkap.

Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang petani tua yang sedang mengikat hasil panennya. Ketika melihat tiga sosok penuh lumpur keluar dari kegelapan, lelaki itu hampir saja berteriak.

“Pak, tenang!” bisik Loekas cepat. “Kami bukan Belanda. Kami pejuang.”

Mata lelaki itu membelalak. “Pejuang?” Ia menatap Loekas lekat-lekat, lalu matanya berbinar seolah mengenali sosok di hadapannya.

“Kapten Loekas…?” bisiknya terkejut.

Loekas terdiam sejenak. Wajahnya sudah sering muncul di poster-poster buronan, dan ia sadar ada risiko besar jika identitasnya diketahui.

Namun petani itu tersenyum lebar. “Subhanallah… saya sudah sering dengar tentang Anda. Singa Bekasi, Kyai Haji Noer Alie, selalu menyebut nama Anda dalam doa-doanya!”

Loekas membalas senyum itu. “Kami harus ke Bekasi. Bisa bantu kami?”

Petani itu mengangguk. “Saya punya gerobak. Kalian bisa bersembunyi di bawah tumpukan tebu. Tapi perjalanan tetap berisiko. Banyak patroli di jalan utama.”

Loekas mempertimbangkan sejenak. “Kita harus coba.”

Dengan cepat, mereka masuk ke dalam gerobak, tubuh mereka ditutupi batang-batang tebu. Petani itu mulai menarik gerobak ke jalan utama, pura-pura menjadi seorang buruh tani yang hendak membawa hasil panennya ke pasar.

Pemeriksaan di Pos Belanda

Perjalanan berlangsung mulus sampai mereka mencapai sebuah pos pemeriksaan di perbatasan Batavia-Bekasi. Seorang serdadu Belanda menghentikan gerobak itu, mengacungkan tangannya.

“Berhenti! Mau ke mana?”

Petani itu menundukkan kepala, suaranya dibuat setenang mungkin. “Saya mau ke pasar, Tuan. Membawa tebu untuk dijual.”

Tentara itu meneliti gerobak dengan curiga. “Buka tumpukan tebunya! Kami harus periksa!”

Dari dalam gerobak, Loekas, Burhan, dan Rasyid bersiap. Tangan mereka mencengkeram senjata yang mereka bawa. Jika Belanda menemukan mereka, mereka harus bertarung habis-habisan.

Namun sebelum serdadu itu sempat menarik batang-batang tebu, suara letusan senapan terdengar dari arah lain.

DOR! DOR!

Sontak, para serdadu Belanda di pos itu bergegas meninggalkan gerobak untuk mencari sumber suara. Petani itu langsung menarik tali kudanya dan menggerakkan gerobak dengan cepat.

“Ini kesempatan kita!” bisiknya.

Loekas melongok keluar dan melihat ke arah suara tembakan. Dalam kegelapan, ia melihat sosok-sosok berpakaian khas pejuang lokal yang berlarian, memancing perhatian tentara Belanda.

“Orang-orang Kyai Haji Noer Alie…” gumamnya.

Tak ingin membuang kesempatan, mereka segera bergerak menuju Bekasi.

Pertemuan dengan Kyai Haji Noer Alie

Setibanya di sebuah rumah besar di pinggiran Bekasi, mereka disambut oleh seorang lelaki tua berjanggut putih yang berdiri tegap di depan serambi.

“Assalamualaikum,” sapa lelaki itu.

“Waalaikumsalam,” jawab Loekas seraya turun dari gerobak.

Kyai Haji Noer Alie menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum. “Akhirnya, kita bertemu lagi, Kapten Loekas.”

Loekas mengangguk hormat. “Terima kasih, Kyai. Tanpa anak buah Kyai yang mengalihkan perhatian Belanda tadi, kami mungkin sudah tertangkap.”

Kyai Haji Noer Alie tertawa kecil. “Pejuang sejati selalu menolong satu sama lain. Kini, mari kita susun rencana. Perjuangan belum selesai.”

Malam itu, di rumah sang Kyai, Loekas dan para pejuang Bekasi mulai menyusun strategi baru. Mereka tahu, Belanda semakin beringas, dan pertempuran selanjutnya akan jauh lebih sengit.

(Bersambung ke seri ke-19: “Serangan Fajar di Tambun”)

Menggali Potensi Wakaf Uang untuk Mewujudkan Keadilan Sosial

Oleh Achmad Fauzi | Anggota BWI DKI Jakarta, Anggota LPCRPM PP Muhammadiyah WAKAF merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak...
spot_img

More Articles Like This