Senin, April 14, 2025
No menu items!

Begundal van Karawang (19): Serangan Fajar di Tambun

Must Read

FAJAR masih malu-malu menyingsing ketika Loekas dan pasukan kecilnya bersiap di tepian rawa Tambun. Dinginnya udara bercampur dengan aroma tanah basah yang menyelimuti ladang-ladang kosong di sekitar mereka.

Kyai Haji Noer Alie berdiri tegap di tengah lingkaran pejuang. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam, seolah melihat jauh ke medan tempur yang sebentar lagi akan membara.

“Kita sudah mendapatkan informasi bahwa Belanda akan mengerahkan pasukan tambahan dari Batavia menuju Karawang. Mereka akan melewati Tambun dalam konvoi besar sebelum fajar sepenuhnya terbit,” ucap sang Kyai dengan suara berat.

Loekas mengangguk. “Kita harus menyerang sebelum mereka siap. Serangan mendadak saat fajar bisa menghancurkan mental mereka.”

Burhan mengecek persenjataan yang mereka miliki. Hanya ada beberapa senapan hasil rampasan dan beberapa butir granat tangan. Jumlah pasukan mereka pun jauh lebih sedikit dibandingkan dengan konvoi Belanda yang akan melintas.

“Tapi mereka punya senjata lebih lengkap,” gumam Rasyid, salah satu pejuang muda.

“Itulah sebabnya kita harus pintar memilih waktu dan tempat,” balas Loekas.

Penyergapan di Jembatan

Pasukan dibagi menjadi tiga kelompok kecil. Loekas dan Burhan akan memimpin serangan di jembatan utama, tempat konvoi Belanda harus melambat. Rasyid dan beberapa pejuang lain akan mengadang dari semak-semak di sisi kanan jalan, sementara Kyai Noer Alie dan pasukan cadangan akan memotong jalur mundur Belanda dari belakang.

Tak lama kemudian, suara gemuruh kendaraan terdengar dari kejauhan. Rantai-rantai baja tank kecil Belanda mencabik-cabik jalanan tanah, diikuti oleh deretan truk yang membawa pasukan KNIL dan serdadu kolonial.

Loekas mengangkat tangannya sebagai aba-aba. Para pejuang menahan napas, menunggu momen yang tepat.

Saat kendaraan lapis baja pertama mulai memasuki jembatan, Loekas melemparkan isyarat.

DOR! DOR! DOR!

Letusan senapan pertama terdengar, disusul dengan suara ledakan kecil dari granat yang dilemparkan ke arah roda tank. Api dan asap langsung membumbung ke udara.

Belanda panik. Mereka berusaha membalas tembakan, tetapi posisi mereka terlalu terbuka. Dari semak-semak, Rasyid dan kelompoknya menembaki para serdadu yang melompat keluar dari truk.

Pertempuran Sengit di Tambun

Di tengah kepanikan, seorang perwira Belanda berteriak dalam bahasa mereka, mencoba mengendalikan pasukan.

“Kita harus cepat! Jangan biarkan mereka menguasai jembatan!”

Namun, Loekas dan Burhan sudah lebih dulu bergerak. Dengan cekatan, mereka menyelinap di antara kendaraan terbakar, menembak serdadu-serdadu yang masih kebingungan.

Sementara itu, Kyai Noer Alie dan pasukannya menyerang dari belakang. Mereka menghantam konvoi dengan bambu runcing dan golok, menyerang serdadu yang mencoba melarikan diri ke arah hutan.

Pasukan Belanda mulai runtuh.

“Kapten! Mereka mundur!” teriak Burhan sambil melompat ke belakang truk yang sudah ditinggalkan.

Loekas mendekati bangkai tank yang terbakar, memastikan tidak ada lagi ancaman tersisa. Beberapa pejuang mengangkat tangan mereka ke udara, bersorak atas kemenangan mereka.

Namun, kemenangan itu tak berlangsung lama. Dari kejauhan, suara artileri berat terdengar.

BOOM! BOOM!

Mortir Belanda menghantam tanah di dekat mereka, meledakkan beberapa pejuang yang kurang beruntung.

Kemunduran yang Pahit

“Kita harus pergi sekarang!” Kyai Noer Alie memberikan aba-aba.

Loekas menggertakkan giginya. Ia tahu, mereka tak mungkin bertahan lama jika Belanda mulai mengerahkan artileri berat.

“Semua, mundur ke rawa!”

Para pejuang segera berpencar, berlari ke arah hutan dan rawa yang sudah mereka kenali dengan baik. Loekas membantu seorang pejuang yang terluka, menyeretnya menjauh sebelum tembakan berikutnya menghantam posisi mereka.

Dari atas bukit, serdadu Belanda yang selamat menatap kepergian para pejuang dengan marah. Mereka berhasil mempertahankan konvoi, tapi mereka juga kehilangan banyak pasukan.

Jembatan Tambun kini dipenuhi bangkai kendaraan yang terbakar, mayat-mayat serdadu Belanda berserakan di jalanan.

Loekas dan pasukannya akhirnya mencapai tempat aman di dalam hutan. Napas mereka tersengal, tubuh mereka penuh debu dan darah.

“Kita berhasil,” ucap Burhan dengan senyum lelah.

“Tapi ini baru permulaan,” Loekas menatap jauh ke arah timur. “Belanda pasti akan membalas kekalahan ini.”

Kyai Noer Alie menepuk bahunya. “Maka kita harus lebih siap. Perang ini belum selesai.”

Fajar kini telah naik sepenuhnya. Hari baru telah dimulai, dan perlawanan belum berakhir.

(Bersambung ke seri ke-20: “Jejak Darah di Karawang”)

Potret Kritis Jadwal Padat dan PR Menumpuk Siswa SD Muhammadiyah

“MAIN yuk…”, “Aduh, belum selesai PR…” Ucapan semacam itu kian akrab terdengar dari mulut anak-anak usia 6-8 tahun, terutama mereka...
spot_img

More Articles Like This