Cerbung: Dwi Taufan Hidayat
Dini hari yang gelap menyelimuti jalur rel di utara Karawang. Di kejauhan, suara peluit lokomotif terdengar samar, mendekati dengan kecepatan tetap. Asap hitam mengepul dari cerobongnya, membelah udara yang dingin. Di dalam gerbong, ratusan peti berisi amunisi, bahan makanan, dan perlengkapan perang bergerak menuju pos Belanda di Batavia.
Di antara semak-semak di sisi rel, Loekas Kustaryo merayap pelan bersama enam pejuang lainnya. Tangannya memegang gulungan kabel peledak yang telah disiapkan sehari sebelumnya. Dengan cekatan, ia menanam dinamit di antara bantalan rel, sementara rekannya berjaga-jaga di sekitar.
“Kita punya waktu sepuluh menit sebelum kereta sampai,” bisik Loekas. Matanya tajam menembus kegelapan, mengawasi setiap pergerakan di sekitar mereka.
Dua orang pejuang lainnya memasang pemicu ledakan di balik semak-semak. Loekas menatap jam saku di tangannya. Tiga menit tersisa. Ia memberikan isyarat kepada rekan-rekannya untuk mundur ke posisi aman.
Saat kereta mulai memasuki tikungan, Loekas menggigit bibirnya, menahan napas. Saat inilah momen paling menegangkan dalam operasi mereka. Jika mereka terlambat menekan pemicu, kereta bisa lolos begitu saja. Jika terlalu cepat, mereka bisa membuang kesempatan emas.
Saat roda besi kereta menyentuh titik yang ditandai, Loekas menganggukkan kepala ke arah rekannya yang memegang detonator.
“Ledakkan!” bisiknya.
Seketika, guncangan besar menggema di udara. Api dan pecahan logam berhamburan ke segala arah. Gerbong depan terpelanting ke samping, menghantam gerbong di belakangnya. Ledakan susulan dari dalam gerbong amunisi membuat langit Karawang memerah.
Teriakan panik tentara Belanda terdengar dari reruntuhan kereta. Beberapa di antara mereka berusaha keluar dari gerbong yang terbakar. Namun, sebelum mereka sempat merespons, Loekas dan pasukannya telah menembakkan peluru pertama.
“Serang!” pekik Loekas.
Seorang serdadu Belanda yang baru keluar dari gerbong langsung roboh diterjang peluru. Di sisi lain, dua pejuang menyerang dari arah belakang, membuat pasukan Belanda tak punya celah untuk berlindung.
“Loekas! Ada yang mencoba kabur ke arah hutan!” teriak salah satu rekannya.
Loekas menoleh cepat. Seorang perwira Belanda dengan pangkat letnan berusaha melarikan diri. Loekas berlari, mengejar tanpa ragu. Di tangannya, sebilah belati berkilat di bawah sinar bulan.
Sang perwira tersandung dan terjatuh di tanah berlumpur. Sebelum sempat bangkit, Loekas sudah mencengkeram kerah seragamnya.
“Mengapa kalian tak pernah berhenti menindas rakyat kami?” tanya Loekas dengan suara rendah, penuh amarah.
Perwira itu menggigil, matanya penuh ketakutan. Loekas mengangkat belatinya, namun sebelum sempat menusukkan, terdengar suara tembakan dari kejauhan.
“Dek, kita harus pergi!” seorang pejuang berteriak.
Pasukan Belanda dari pos terdekat sudah mendengar ledakan dan kini bergerak menuju lokasi mereka. Loekas menatap perwira yang ketakutan itu untuk sesaat, lalu menghantam kepalanya dengan gagang belati hingga pingsan.
“Kita sudah cukup membuat mereka kacau. Mundur sekarang!” perintah Loekas.
Dalam hitungan detik, pasukannya berpencar ke dalam hutan, menghilang dalam kegelapan. Di belakang mereka, api masih membakar gerbong kereta, menjadi saksi bisu dari sebuah aksi yang membuat Belanda semakin berang.
Tak lama kemudian, kabar mengenai sabotase ini menyebar luas. Pasukan Belanda mengutuk nama Loekas Kustaryo lebih dari sebelumnya. Perburuan terhadapnya semakin intensif.
Namun, Loekas hanya tersenyum mendengar berita itu. Baginya, ini baru permulaan.
(Bersambung seri ke-3: “Penyamaran di Tengah Musuh”)