Kamis, April 17, 2025
No menu items!

Begundal van Karawang (20-Tamat): Jejak Darah di Karawang

Must Read

MATAHARI senja menggantung di langit barat, memantulkan warna jingga kemerahan di atas sawah-sawah luas Karawang. Loekas Kustaryo berdiri di tepi sungai kecil, memandang jauh ke arah desa-desa yang kini hanya menyisakan puing dan luka.

Berita tentang pembantaian Rawagede telah sampai ke telinganya. Hatinya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena marah dan sesal yang bercampur menjadi satu.

“Kapten, kita harus menyerang balik!” suara Burhan terdengar gemetar oleh amarah. “Belanda harus membayar atas darah yang mereka tumpahkan!”

Para pejuang yang berkumpul di sekitar Loekas mengangguk setuju. Rasyid mengepalkan tinjunya, matanya berkaca-kaca.

“Mereka membunuh semua orang, Kapten. Tanpa ampun. Pria, wanita, bahkan anak-anak… semuanya!”

Loekas terdiam.

Pikirannya melayang ke belakang, ke hari ketika mereka meninggalkan Rawagede beberapa waktu lalu. Jika saja ia tahu Belanda akan sekeji ini, ia mungkin akan tetap tinggal dan bertarung sampai titik darah penghabisan.

Tapi sekarang sudah terlambat.

Rencana Terakhir

Kyai Haji Noer Alie berdiri di antara mereka, suaranya tenang namun penuh wibawa.

“Anak-anakku, aku tahu hatimu terluka. Aku tahu kau ingin membalas. Tapi ingatlah, perjuangan kita bukan sekadar balas dendam. Kita berjuang demi kemerdekaan, demi kebebasan, bukan untuk melampiaskan kemarahan.”

“Tapi, Kyai—” Rasyid hampir protes, namun Loekas mengangkat tangannya.

“Kyai benar,” katanya. “Jika kita menyerang membabi buta, kita hanya akan memberi Belanda alasan untuk menghancurkan lebih banyak desa. Kita harus pintar. Kita harus menghantam mereka di tempat yang paling menyakitkan.”

Maka diputuskanlah rencana terakhir mereka: sebuah sabotase besar-besaran di jalur logistik Belanda. Jika mereka tak bisa langsung membalas dendam atas Rawagede, maka mereka akan membuat Belanda menyesali setiap peluru yang mereka tembakkan ke rakyat tak bersalah.

Sabotase Terakhir

Malam itu, Loekas dan pasukannya menyelinap ke jalur kereta api yang menghubungkan Batavia dengan Bandung, jalur utama pasokan logistik Belanda. Mereka bekerja dalam diam, meletakkan bahan peledak di bawah rel, menunggu kereta pasokan Belanda yang akan melintas.

Suasana tegang. Setiap suara kecil terdengar seperti guntur di telinga mereka.

Tak lama kemudian, dari kejauhan, suara gemuruh mesin lokomotif mulai terdengar. Lampu sorotnya menembus kegelapan, mendekat dengan kecepatan yang konstan.

Loekas mengangkat tangannya. Semua pejuang menahan napas.

Saat kereta tepat berada di atas jalur yang telah dipasangi bahan peledak, Loekas menekan pemicu.

BOOM!

Ledakan dahsyat mengguncang malam. Api membubung tinggi saat gerbong-gerbong berisi amunisi dan bahan makanan terpental ke udara. Asap hitam menutupi langit, suara dentuman dan jeritan memenuhi malam.

Pasukan Belanda yang berjaga panik. Mereka mencoba mengorganisir diri, tapi sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, pasukan Loekas sudah menerjang dengan serangan kilat.

Dalam kegelapan, golok dan peluru berbicara. Loekas sendiri menebas satu perwira Belanda yang mencoba menarik senjatanya. Burhan melempar granat ke salah satu truk yang terbakar.

Lalu, seperti hantu, mereka menghilang kembali ke dalam bayangan sebelum bala bantuan Belanda tiba.

Serangan itu sukses besar. Jalur logistik Belanda lumpuh.

Tapi Loekas tahu, kemenangan ini tak akan bertahan lama.

Pelarian yang Tak Berujung

Setelah serangan di jalur kereta, Belanda semakin gila memburu Loekas. Hadiah yang ditawarkan untuk kepalanya semakin besar. Setiap mata-mata, setiap informan, bahkan orang-orang yang dulu diam, kini tergoda untuk menyerahkannya.

Ia tak bisa lagi tinggal di satu tempat terlalu lama.

Dari Karawang, ia berpindah ke Bekasi, lalu ke Batavia, lalu kembali ke hutan-hutan di sekitar Gunung Sanggabuana. Selalu berpindah, selalu dikejar, selalu dalam bayang-bayang.

Tapi meskipun begitu, Loekas tak pernah menyerah. Ia terus berjuang, meski tubuhnya semakin ringkih, meski perang semakin mengubah wajahnya.

Akhir yang Sunyi

Bertahun-tahun kemudian, Indonesia benar-benar merdeka.

Belanda akhirnya pergi, tapi jejak darah yang mereka tinggalkan tetap ada. Rawagede tak pernah lupa. Karawang tak pernah lupa.

Loekas, yang kini telah menua, hidup dalam diam. Ia tak pernah mengklaim kehormatan, tak pernah meminta pengakuan. Tapi hatinya tetap menanggung beban.

Ia tak pernah bisa melupakan Rawagede.

Pada akhirnya, pada 8 Juni 1997, ia meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cipanas.

Di Belanda, di sebuah gedung di Den Haag, berdiri sebuah patung setengah badan dengan tulisan:

“Loekas. Begundal dari Karawang.”

Sebuah bukti bahwa bahkan musuhnya pun tak bisa melupakannya.

Tapi bagi rakyat Karawang, bagi pejuang-pejuang yang dulu berjuang bersamanya, ia bukan begundal. Ia adalah pahlawan.

Dan namanya akan terus hidup dalam sejarah, dalam setiap nyala api perjuangan, dalam setiap hembusan angin di ladang-ladang Karawang. *

Dari Mogok Sekolah hingga Raih Beasiswa ke Jepang dan Jadi Manajer Muda: Kisah Orang Tua Inspiratif yang Tak Menyerah

JAKARTAMU.COM | “Punya anak tiga tapi tidak ada yang suka sekolah, lalu bagaimana nanti masa depannya?” Pertanyaan penuh...
spot_img

More Articles Like This