Cerbung: Dwi Taufan Hidayat
Langit pagi di Karawang masih dipenuhi sisa asap dari gerbong yang terbakar semalam. Pasukan Belanda telah bergerak cepat mengamankan lokasi sabotase. Beberapa tentara terlihat sibuk mengevakuasi korban, sementara perwira mereka berteriak-teriak marah, menuntut penjelasan bagaimana serangan itu bisa terjadi.
Namun di antara keramaian itu, seorang prajurit Belanda bertubuh kecil tampak berjalan tenang, bahunya tegap, topi baja menutupi sebagian wajahnya. Tak ada yang menyadari bahwa di balik seragam abu-abu NICA yang dikenakannya, tersembunyi sosok yang paling mereka buru: Loekas Kustaryo.
Penyamaran ini bukan yang pertama kali dilakukan Loekas. Dengan kemampuannya menguasai bahasa Belanda dan memahami kebiasaan militer mereka, ia sering menyusup ke pos musuh tanpa menimbulkan kecurigaan. Hari ini, ia datang bukan hanya untuk mengamati, tetapi juga untuk memastikan siapa yang menjadi dalang utama perburuan terhadapnya.
Di salah satu tenda, seorang perwira Belanda berpangkat kapten tengah berbicara dengan seorang pria pribumi yang mengenakan pakaian rapi. Loekas mengenali wajah si pribumi itu—seorang pengkhianat, informan Belanda yang dikenal licik dan kejam terhadap pejuang republik. Namanya: Abdul Syarif.
Dari balik tiang kayu tempatnya bersandar, Loekas mendengar percakapan mereka.
“Kapten, saya sudah berusaha mencari informasi lebih lanjut tentang Loekas. Orang ini seperti hantu. Tidak ada yang tahu pasti di mana dia sekarang,” ucap Abdul dengan nada merendah.
Kapten Belanda itu—Brouwer, pria bertubuh tinggi dengan rahang kokoh—mendengus kesal.
“Kalian pribumi terlalu banyak alasan. Kalian semua tahu di mana dia bersembunyi, tapi selalu bungkam! Aku butuh hasil, Abdul. Jika tidak, aku akan menganggapmu juga bagian dari pemberontakan ini!”
Abdul mengangkat kedua tangannya, mencoba menenangkan kapten yang mulai emosi. “Beri aku waktu beberapa hari lagi, Tuan. Aku punya seseorang yang bisa memberi petunjuk pasti di mana Loekas bersembunyi.”
Loekas menahan geram. Sudah lama ia ingin menyingkirkan pengkhianat itu, tapi belum menemukan momen yang tepat. Namun, kali ini, kesempatan itu mungkin datang lebih cepat dari yang ia duga.
“Bagus,” kata Brouwer akhirnya. “Katakan pada informanmu, jika dia berhasil, aku akan membayarnya seribu golden. Jika gagal, aku sendiri yang akan menghabisinya.”
Percakapan itu berakhir, dan Abdul Syarif berjalan keluar tenda dengan ekspresi puas. Loekas menunggu beberapa saat sebelum perlahan mengikuti di belakangnya.
Di luar perkemahan, Abdul berjalan santai, seolah tidak ada bahaya yang mengintainya. Namun, saat ia baru saja melewati sebuah lorong kecil di antara dua bangunan, sebuah tangan mencengkeram kerah bajunya dari belakang dan menariknya dengan kasar.
Sebelum sempat berteriak, belati telah menempel di lehernya.
“Jangan berisik kalau masih ingin hidup, Abdul,” bisik suara yang sangat dikenalnya.
Abdul menggigil. “L-Loekas…? Astaga, apa yang kau lakukan di sini?”
Loekas tersenyum sinis. “Harusnya aku yang bertanya. Sejak kapan kau begitu senang menjual nyawa saudara-saudaramu sendiri demi uang Belanda?”
“Saya hanya mencari selamat, Loekas! Mereka lebih kuat! Kita tidak bisa menang!” suara Abdul bergetar.
Loekas menggeleng. “Yang tak bisa menang adalah mereka yang berkhianat pada tanahnya sendiri.”
Tanpa peringatan, Loekas menghantamkan gagang belati ke pelipis Abdul. Pria itu pingsan seketika. Dengan cepat, Loekas menyeret tubuhnya ke balik semak-semak.
Ia tidak membunuhnya—belum. Abdul masih bisa menjadi umpan.
Loekas segera meninggalkan lokasi, kembali ke hutan tempat pasukannya menunggu. Malam ini, mereka akan memberi kejutan yang lebih besar bagi Belanda.
(Bersambung ke seri ke-4: “Serangan di Pos Tambun”)