Cerbung: Dwi Taufan Hidayat
Pagi itu, udara lembap menyelimuti sebuah rumah panggung sederhana di pinggiran Karawang. Di dalamnya, Loekas dan beberapa anak buahnya tengah menyusun strategi gerilya berikutnya. Seorang pejuang bernama Burhan baru saja kembali dari perjalanan mengumpulkan informasi.
“Belanda semakin gila,” kata Burhan dengan napas tersengal. “Mereka menyebarkan selebaran ke setiap desa. Bahkan beberapa saudagar kaya di Batavia ditugaskan untuk menanyakan keberadaan kita lewat jaringan mereka.”
Loekas menyandarkan punggungnya ke dinding kayu, lalu tersenyum tipis. “Sudah kuduga. Mereka semakin panik karena kita terus bergerak.”
Namun, di tengah pembicaraan, seorang prajurit bernama Jatmiko tampak gelisah. Sejak tadi, ia jarang berbicara dan lebih banyak menunduk. Tatapannya menghindari kontak mata dengan Loekas dan yang lainnya.
Tak ada yang menyadari bahwa beberapa hari lalu, Jatmiko telah bertemu dengan seorang pria di Bekasi—salah satu mata-mata Belanda yang menawarkan jalan keluar dari hidupnya yang berat.
“Kau hanya perlu memberitahu kami lokasi Loekas, dan sepuluh ribu golden akan menjadi milikmu.”
Jatmiko tidak langsung menjawab saat itu, tetapi benaknya terus dihantui dilema. Ia memang pejuang, tetapi kemiskinan keluarganya telah lama menggerogoti pikirannya.
Sore harinya, saat pasukan kecil Loekas tengah beristirahat di sebuah gubuk persembunyian, Jatmiko mengendap keluar. Ia berpura-pura mencari air ke sungai, tetapi sebenarnya ia telah membawa sepotong kain kecil yang diikat pada ranting—tanda bagi Belanda bahwa target mereka ada di sini.
Di markas Belanda di Tambun, seorang perwira Belanda bernama Letnan De Vries menerima pesan itu dengan senyum puas. “Akhirnya ada tikus yang keluar dari sarangnya.”
Tanpa menunda waktu, De Vries mengerahkan satu pleton pasukan untuk menyergap lokasi yang telah ditunjukkan. Mereka bergerak cepat, membawa persenjataan lengkap.
Malam itu, Loekas tengah berbincang dengan Saman dan Burhan ketika tiba-tiba anjing-anjing liar di sekitar hutan menggonggong keras. Instingnya segera menyala.
“Tunggu…” Loekas berdiri dan menajamkan pendengarannya. “Ada sesuatu yang tidak beres.”
Saman mengintip dari celah dinding. Di kejauhan, samar-samar terlihat sorotan lampu dari arah jalan setapak.
“Komandan! Ada pasukan mendekat!” bisik Saman dengan suara tegang.
Tanpa ragu, Loekas memberi isyarat kepada pasukannya. “Kita keluar dari sini. Sekarang!”
Mereka segera bergerak keluar dari gubuk dengan langkah-langkah cepat dan senyap. Tak sampai lima menit setelah mereka pergi, suara rentetan tembakan membelah malam. Peluru-peluru menghantam gubuk itu, menghancurkannya seketika.
Loekas dan pasukannya bergegas masuk ke hutan, berlari tanpa menoleh ke belakang. Di antara mereka, Jatmiko ikut berlari, berpura-pura panik.
Namun Loekas tahu. Ia tahu ada yang tidak beres.
Saat mereka akhirnya tiba di tempat yang aman, Loekas mendekati Jatmiko, menatapnya tajam.
“Kau yang memberitahu mereka, bukan?” suara Loekas datar, tetapi penuh ancaman.
Jatmiko terkejut, tetapi sebelum ia bisa menjawab, Burhan sudah lebih dulu mencabut belatinya.
“Apa yang harus kita lakukan padanya, Komandan?”
Jatmiko menelan ludah. Ia tahu tak ada jalan keluar lagi.
(p: “Darah Pengkhianat di Tengah Perlawanan”)