Cerbung: Dwi Taufan Hidayat
Jatmiko berdiri di tengah lingkaran pasukan Loekas. Wajahnya pucat, keringat mengalir deras dari pelipisnya. Matanya bergerak liar, mencari-cari celah untuk melarikan diri, tetapi tak ada jalan keluar.
Loekas menatapnya tajam, rahangnya mengeras. Di tangan kirinya, ia menggenggam sehelai kain kecil berwarna abu-abu yang ia temukan tak jauh dari gubuk yang mereka tinggalkan—kain yang sama dengan tanda yang digunakan Belanda untuk mengenali target mereka.
“Jatmiko,” suara Loekas tenang, tetapi penuh tekanan. “Katakan padaku, mengapa kau melakukannya?”
Jatmiko mencoba membuka mulut, tetapi lidahnya terasa kelu. Tubuhnya gemetar. Para pejuang lain sudah mengepalkan tangan, beberapa bahkan mencabut belati mereka, siap menebus pengkhianatan dengan darah.
“Aku… aku tidak berniat mengkhianati kalian,” suaranya bergetar. “Aku hanya… mereka menawarkan uang. Sepuluh ribu golden… itu cukup untuk membawa keluargaku keluar dari kemiskinan.”
Saman mendengus geram. “Dan sebagai gantinya, kau menyerahkan nyawa saudara-saudaramu sendiri?”
Jatmiko menunduk, tak mampu menjawab.
Loekas menarik napas dalam, menahan gejolak amarahnya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba meredam dorongan untuk menghabisi pengkhianat di hadapannya.
“Kau tahu apa yang dilakukan Belanda ketika gagal menangkap kita?” Loekas bertanya, suaranya lebih pelan namun penuh beban.
Jatmiko tetap menunduk.
“Mereka membantai siapa pun yang mereka curigai,” lanjut Loekas. “Anak-anak, perempuan, orang tua… mereka tidak peduli. Mereka akan membunuh dengan cara yang paling keji. Itu harga dari informasi yang kau berikan kepada mereka.”
Jatmiko terisak. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku menyesal, Komandan… Aku benar-benar menyesal…”
Loekas menatapnya lama. Kemudian, ia menoleh ke arah Burhan dan Saman. “Ikat dia. Kita bawa dia ke Kyai Haji Noer Alie. Biarkan beliau yang memutuskan nasibnya.”
Malam itu, rombongan kecil pejuang bergerak menuju pesantren Kyai Haji Noer Alie. Mereka menempuh perjalanan dalam keheningan, hanya suara gesekan dedaunan dan langkah kaki yang terdengar.
Sesampainya di pesantren, Kyai Noer Alie sudah menunggu di serambi rumah kayunya yang sederhana.
“Masuklah,” ujar beliau dengan suara tenang.
Jatmiko didorong ke depan, wajahnya semakin tegang. Loekas lalu menceritakan semuanya, mulai dari pengkhianatan hingga pengepungan yang mereka alami.
Kyai Noer Alie mendengarkan dengan seksama, matanya tertuju pada Jatmiko yang kini tertunduk dalam rasa bersalah.
“Anak muda,” ujar Kyai Noer Alie akhirnya, suaranya lembut namun penuh wibawa. “Kau telah berbuat dosa besar. Nyawa saudara-saudaramu hampir melayang karena ulahmu.”
Jatmiko terisak. “Saya menyesal, Kyai… Saya siap menerima hukuman apa pun.”
Kyai Noer Alie menghela napas panjang. “Jika aku mengikuti hawa nafsuku, aku bisa saja membiarkan kalian membunuhnya sekarang juga. Tapi aku bertanya, apa itu akan menyelesaikan masalah?”
Ruangan hening. Tak ada yang berani menjawab.
“Aku ingin kau menebus dosamu,” lanjut Kyai Noer Alie. “Tapi bukan dengan darah, melainkan dengan pengabdian. Jika kau sungguh-sungguh menyesal, maka buktikan dengan perbuatan.”
Jatmiko mengangkat wajahnya perlahan. “Apa… apa yang harus saya lakukan, Kyai?”
“Mulai hari ini, kau akan tetap berjuang bersama mereka. Tapi jiwamu harus kau serahkan sepenuhnya kepada perjuangan ini. Jika kau berkhianat sekali lagi, maka tangan mereka,” Kyai Noer Alie menatap pasukan Loekas, “akan menjadi pedang yang menghukummu.”
Jatmiko mengangguk lemah, air matanya jatuh. “Saya bersumpah, Kyai. Saya tidak akan mengkhianati mereka lagi.”
Loekas menatap Jatmiko dengan ekspresi sulit ditebak. “Baik. Kita lihat apakah kau benar-benar menepati kata-katamu.”
Kyai Noer Alie menatap Loekas. “Kau juga harus waspada, Nak. Dosa pengkhianatan tak bisa ditebus dengan kata-kata saja. Tetapi setiap manusia selalu diberi kesempatan kedua oleh Tuhan.”
Loekas hanya mengangguk pelan. Ia tahu bahwa pertempuran mereka masih panjang, dan pengkhianatan bisa datang kapan saja.
Malam itu, mereka kembali ke markas dengan hati yang masih diliputi keraguan. Apakah keputusan ini benar? Ataukah pengkhianatan akan kembali menghantui mereka di masa depan?
(Bersambung ke seri ke-8: “Penyergapan di Tepi Citarum”)