CAHAYA fajar perlahan menembus celah pepohonan di hutan Karawang. Loekas Kustaryo berdiri tegap, menatap para pejuang yang masih terengah-engah setelah penyergapan semalam. Wajah mereka penuh kelelahan, tetapi semangat tak sedikit pun surut.
“Kita tidak bisa terus bergerak tanpa rencana matang,” ujar Loekas. “Belanda semakin agresif. Mereka tidak hanya memburu kita, tapi juga meneror rakyat. Kita harus memberikan pukulan balik.”
Saman mengangguk. “Apa yang kau pikirkan, Kapten?”
Loekas menghela napas panjang. “Bekasi. Kita akan menyerang pos Belanda di sana.”
Mata para pejuang berbinar mendengar rencana itu. Bekasi adalah salah satu jalur utama Belanda, tempat mereka menumpuk logistik untuk operasi di Jakarta dan Karawang. Sebuah serangan di sana bukan hanya akan melemahkan lawan, tetapi juga mengangkat moral pejuang lain.
Jatmiko, yang masih berusaha menebus pengkhianatannya, bertanya hati-hati, “Apa kita punya cukup orang untuk itu?”
Loekas menatapnya tajam. “Kita tak butuh banyak orang, hanya butuh keberanian dan strategi.”
Serangan di Bekasi
Malam itu, Loekas dan pasukannya bergerak dalam diam menuju Bekasi. Mereka menyusuri rawa-rawa dan jalan setapak, menghindari patroli Belanda. Saat mendekati pos utama, Loekas memberikan instruksi terakhir.
“Burhan dan Saman, kalian serang dari sisi barat. Aku dan Jatmiko akan masuk dari utara. Pastikan ledakan pertama cukup besar untuk mengalihkan perhatian mereka.”
Para pejuang mengangguk. Mereka merapatkan genggaman pada senjata, menunggu aba-aba.
Ketika jarum jam hampir menunjuk ke tengah malam, Loekas mengangkat tangannya—sinyal untuk memulai serangan.
Ledakan pertama mengguncang langit Bekasi. Api menyala dari salah satu gudang logistik Belanda. Suara tembakan menyusul, memecah keheningan malam.
Loekas dan Jatmiko bergegas menyelinap ke dalam barak utama. Seorang prajurit Belanda berusaha meraih senjata, tetapi sebelum sempat menarik pelatuk, Jatmiko sudah lebih dulu menebasnya dengan belati.
Di luar, Saman dan Burhan bertempur sengit dengan pasukan Belanda yang mulai membalas serangan. Meski kalah jumlah, para pejuang bergerak lincah, memanfaatkan kegelapan untuk mengacaukan formasi musuh.
Seorang perwira Belanda mencoba memberi perintah, tetapi Loekas menghabisinya dengan satu tembakan tepat di leher.
Setelah lima belas menit pertempuran sengit, suara terompet tanda bahaya terdengar dari kejauhan.
“Kita harus pergi! Pasukan tambahan mereka akan segera tiba!” teriak Saman.
Loekas mengangguk. “Mundur sekarang!”
Mereka segera berlari ke arah rawa-rawa tempat mereka datang. Di belakang, pos Belanda masih terbakar, meninggalkan kekacauan yang mereka ciptakan.
Kemenangan yang Pahit
Di hutan, mereka berkumpul kembali. Semua masih utuh, kecuali satu orang—Burhan terluka di bahu.
“Aku masih bisa bertarung,” ucapnya, menahan rasa sakit.
Loekas tersenyum kecil. “Istirahat dulu. Kita masih butuh tenagamu.”
Kemenangan di Bekasi menjadi kabar besar. Para pejuang di daerah lain terinspirasi, perlawanan semakin berkobar.
Tapi Loekas tahu, Belanda tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan membalas lebih keras.
Dan benar saja, tak lama kemudian, kabar buruk datang—Belanda sedang merancang operasi besar untuk menangkapnya.
(Bersambung seri ke-10: “Operasi Belanda Dimulai”)