Kamis, Januari 30, 2025
No menu items!

Belajar dari Drama Pagar Laut: Ketika Kebohongan Menjadi Pemandu

Must Read

Oleh Ahsan Jamet Hamidi | Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Wakil Sekretaris LPCRPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah

SAYA dan banyak pembaca berita merasa terusik oleh drama terkait pembangunan pagar laut yang terjadi di wilayah Tangerang, Banten. Tanpa bermaksud menambah polemik, saya akan mencoba merangkum permasalahan ini berdasarkan laporan media mainstream.

Alkisah, sebuah kelompok memasang pagar laut dari bambu sepanjang lebih dari 30 kilometer di perairan wilayah Kabupaten Tangerang. Tindakan ini menuai banyak protes. Sebagian menduga bahwa pembangunan pagar bambu ini merupakan bentuk penggadaian wilayah laut Indonesia, sementara yang lain berpendapat bahwa itu adalah upaya baik, terutama oleh nelayan setempat, untuk mitigasi bencana tsunami dan abrasi.

Mana yang benar? Jawabannya tergantung pada perspektif siapa yang Anda dengar. Yang pasti, pada 9 Januari 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyegel pembangunan tersebut karena dianggap ilegal. Namun, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menganggap penyegelan itu terlambat.

Selama ini, aparat desa, camat, pemerintah provinsi, hingga penegak hukum bersikap diam. Seharusnya, tindakan preventif diambil jauh sebelum pagar laut itu didirikan. Tim gabungan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten dan Polisi Khusus PSDKP KKP telah melakukan pemeriksaan pada 4-5 September 2024.

Baca juga: Kejahatan Pagar Laut Pantai Tangerang: Jokowi Bertanggung Jawab

Minus Kejujuran

Saya sependapat dengan KIARA dan ORI bahwa pemerintah terlambat bertindak. Bahkan, kesan yang muncul adalah bahwa tidak ada koordinasi yang baik antara badan, kementerian, dan lembaga terkait dalam menangani masalah ini. Alih-alih menyelesaikan masalah, bahkan menyebut nama pelaku saja tak ada yang berani.

Saya mencurigai, kekacauan penanganan masalah ini disebabkan oleh ego dan kepentingan masing-masing pihak. Mereka mengabaikan satu prinsip dasar yang seharusnya menjadi pegangan dalam menyelesaikan masalah: kejujuran.

Namun, di balik semua ini, ada pelajaran yang dapat diambil. Pembangunan pagar laut yang terjadi di wilayah pinggiran pusat kekuasaan, yang mudah diamati oleh publik, seharusnya bisa segera diselesaikan. Tetapi mengapa prosesnya begitu lambat dan berlarut-larut? Pembaca bisa menarik kesimpulan berdasarkan cerita ini. Berikut adalah beberapa kesimpulan yang saya petik:

Pertama, saya semakin yakin bahwa ancaman terbesar bagi bangsa Indonesia tidak hanya berasal dari luar negeri. Walaupun kepentingan asing di Indonesia jelas ada, masalah disintegrasi bangsa, ancaman terhadap persatuan dan kesatuan NKRI, bisa justru muncul dari dalam negeri—dari warga negara Indonesia itu sendiri, bahkan dari mereka yang pernah atau sedang memegang kekuasaan.

Kedua, setiap masalah di negeri ini sebenarnya selalu ada solusinya. Namun, solusi seringkali tidak diterapkan karena bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka yang terlibat dalam masalah tersebut, atau karena solusi tersebut dianggap mengancam kekuasaan para penguasa.

Akibatnya, masalah yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cepat justru berkembang menjadi lebih besar dan berdampak luas, karena penanganannya tidak menyentuh inti masalah. Solusi yang diusulkan malah menghindar agar tidak merugikan kepentingan segelintir orang yang berada di puncak kekuasaan.

Ketiga, tingginya tingkat pendidikan, pangkat, jabatan, atau kekuasaan seseorang ternyata tidak selalu sebanding dengan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah. Ketika orientasi hidup seseorang hanya berfokus pada pemenuhan ego dan kepentingannya, deretan pangkat dan jabatan yang dimilikinya menjadi tidak berarti.

Machiavelli, dengan sinis, pernah mengatakan, “Siapa yang akan mendirikan sebuah negara yang teratur, harus dimulai dengan asumsi bahwa semua manusia itu pada hakekatnya jahat. Pada saatnya, ia akan memperlihatkan sifat jahatnya ketika ada kesempatan.”

Baca juga: Menteri KKP Pastikan Penyelidikan Pagar Laut Tangerang Targetkan Pelaku

Menilai Komitmen Aparat Negara

Bagi saya, drama pagar laut di Tangerang ini memberikan pelajaran penting mengenai standar untuk menilai kinerja dan komitmen aparatur negara. Jargon muluk-muluk yang sering terdengar dalam retorika heroisme, dalam kenyataannya, bisa berwujud sebaliknya. Mereka yang dikatakan tangguh, hebat, mampu menjaga, mengayomi, dan melindungi rakyat, ternyata bisa tampil lemah saat berhadapan dengan pihak-pihak yang dianggap mampu memenuhi kepentingan politik dan ekonomi mereka.

Kekacauan dalam penanganan masalah pagar laut ini mengingatkan saya pada pandangan para filsuf klasik seperti Plato dan Aristoteles. Keduanya berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah “binatang biasa”, namun kelebihannya terletak pada akal. Jika akal digunakan untuk kebaikan, maka manusia akan menjadi sempurna. Namun, jika digunakan untuk kejahatan, manusia bisa menjadi lebih buas dari binatang.

Negara besar dengan 17.000 pulau dan lebih dari 280 juta penduduk ini, yang dilengkapi dengan jutaan pegawai negeri sipil, polisi, dan tentara, ternyata masih kesulitan untuk menemukan pelaku pemasangan pagar laut di Tangerang (hingga akhir Januari 2025).

Jika KKP menyebut bahwa pembangunan itu ilegal dan sudah disegel, mengapa pelaku belum juga ditindak? Bukankah ini ironis? Negara besar ini jelas tengah menghadapi masalah serius dalam kepemimpinan.

Banyak pernyataan dari pejabat tinggi yang terdengar aneh dan kontroversial, tidak sebanding dengan jabatan dan ilmu yang mereka miliki. Mereka lebih terlihat seperti pemain drama yang harus membela kepentingan diri mereka sendiri atau orang-orang yang mereka bela.

Mungkin karena itu mereka lebih memilih untuk berbohong. Ketika kejujuran—yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam kehidupan—dibuang begitu saja, kita bisa menanti kelucuan selanjutnya. (*)

Berikut Ini yang Masuk Kategori Melalaikan Salat

JAKARTAMU.COM | Melalaikan salat merupakan perbuatan yang mendapatkan ancaman serius dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surah...

More Articles Like This