Selasa, April 29, 2025
No menu items!

Benarkah Tidak Boleh Menawar Harga Hewan Kurban?

Must Read

KURANG lebih satu dasawarsa lalu, sempat beredar sebuah keyakinan di tengah masyarakat soal larangan menawar harga kalau membeli hewan kurban. Keyakinan ini menyebar luas, seolah menjadi kesepakatan tak tertulis di kalangan umat Islam. Namun, benarkah hal itu merupakan ajaran agama?

Jika kita menelisik secara keilmuan, setiap pendapat yang diklaim sebagai bagian dari agama seharusnya memiliki dasar yang jelas, berupa nash—teks-teks Al-Qur’an atau hadis yang sahih. Dalam hal ini, tidak ada satu pun dalil yang secara eksplisit melarang proses tawar-menawar dalam pembelian hewan kurban. Sebab, meskipun kurban adalah bagian dari ibadah, proses membeli hewan kurban berada dalam ranah muamalah—hubungan antar manusia—yang hukumnya kembali pada prinsip dasar: mubah, atau boleh-boleh saja, selama dilakukan secara adil dan wajar.

Penulis sendiri pernah mendengar larangan menawar hewan kurban ini dari orang tua. Namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pemahaman, barulah muncul kesadaran bahwa larangan itu mungkin bukan berasal dari dalil syar’i, melainkan lebih kepada bentuk empati dan keberpihakan terhadap pedagang kecil yang dulu banyak menjajakan hewan kurban.

Kala itu, pedagang hewan kurban tidak sebanyak sekarang. Mereka bukan pemain besar dengan kandang luas dan sistem online. Di pinggiran kota, penjual hewan kurban umumnya adalah para ustaz, guru ngaji, mubalig, atau marbot masjid. Mereka berdagang secara musiman, hanya saat Idul Adha tiba. Modalnya pun kecil. Mereka mungkin hanya memiliki 20-30 kambing atau beberapa ekor sapi. Tak jarang, hewan-hewan itu mereka ambil dulu dari pedagang besar dengan sistem bayar belakangan jika sudah laku.

Ada juga sistem fee yang berlaku. Seorang Haji pemilik kandang besar akan menyediakan hewan kurban, lalu para ustaz dan marbot menjadi semacam agen pemasaran. Bila berhasil menjual atau membawa jamaah untuk membeli, mereka akan mendapat imbalan. Keuntungan itulah yang kemudian mereka sisihkan untuk membiayai kegiatan dakwah, membeli pengeras suara masjid, atau sekadar menambal kebutuhan rumah tangga.

Di sinilah, menurut penulis, asal muasal “larangan menawar” itu muncul. Bukan karena alasan agama, tapi karena pertimbangan sosial dan moral: bentuk solidaritas terhadap pejuang dakwah yang menggantungkan sedikit rezekinya dari penjualan hewan kurban.

Namun zaman telah berubah. Kini, penjualan hewan kurban sudah menjadi industri. Platform daring menjamur, kompetisi harga semakin tajam. Pedagang besar yang dulu hanya bisa dijangkau lewat agen kini bisa langsung menawarkan produknya kepada konsumen melalui media sosial. Para ustaz dan mubalig yang dulu menjadi ujung tombak pemasaran, kini lebih tertarik menjadi tenaga lepas di perusahaan travel haji dan umrah—karena fee-nya lebih besar dan kerja lebih pasti.

Situasi itu membuat “dalil keberpihakan” yang dulu dijaga dengan nilai-nilai kekeluargaan dan kepedulian, perlahan memudar, terutama di wilayah perkotaan. Pasar kini berjalan dengan logika bisnis sepenuhnya, dan tawar-menawar menjadi bagian yang sah dari dinamika jual beli.

Akhirnya, tak ada yang salah dengan menawar hewan kurban—selama dilakukan secara sopan dan wajar. Namun, mengingat kembali semangat di balik keyakinan lama itu, bisa jadi menjadi pengingat: bahwa di balik seekor kambing atau sapi, tersimpan semangat perjuangan dan ketulusan orang-orang kecil yang turut membesarkan syiar agama ini. (*)

Kopdar Perdana Sumu Kabupaten Semarang, Langkah Awal Menuju Kemajuan

SEMARANG, JAKARTAMU.COM | Serikat Usaha Muhammadiyah (Sumu) Kabupaten Semarang menggelar temu perdana atau kopdar di Angkringan Kebon Ombo, milik...
spot_img

More Articles Like This