Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan
MEMBACA berita tentang vonis pelaku korupsi membuat geram dan bergumam bahwa telah hancur rasa keadilan di negeri ini.
Bagaimana tidak, dalam kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun dan menguntungkan diri sendiri Rp420 miliar hanya dihukum penjara 6,5 tahun denda Rp1 milar.
Tidak perlu berprasangka Hakim kena suap, tetapi vonis seperti ini menggambarkan bahwa gembar-gembor atau tekad untuk memberantas korupsi adalah bohong!
“Dengan hanya 6,5 tahun penjara justru menciptakan kondisi yang merangsang banyak pihak untuk korupsi.”
Merugikan negara Rp300 triliun dan menguntungkan diri sendiri Rp420 miliar itu dalam konsepsi pemberantasan korupsi layaknya hukuman mati atau seumur hidup sekurangnya 20 tahun. Dengan begitu, ada efek jera bagi pelaku korupsi.
Dengan hanya 6,5 tahun penjara justru menciptakan kondisi yang merangsang banyak pihak untuk korupsi. Berisiko ringan dan jangan tanggung-tanggung jika ingin merampok uang negara.
Adalah Harvey Moeis yang divonis 6,5 tahun oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat yang diketuai Eko Aryanto dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah yang dilakukan IUP PT Timah Tbk bagian perusahaan PT Refined Bangka Tin. Harvey melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 3 UU pemberantasan TPPU Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Vonis ringan dan nikmat seperti ini menunjukkan betapa parah penegakan hukum di negeri ini. Fenomena koruptor menjadi ATM aparat, jual beli pasal, bahkan ujungnya negosiasi hukuman tampaknya bukan isapan jempol. Belum lagi pembelian fasilitas di LP oleh napi berduit.
Prabowo yang hebat bertekad memberantas korupsi juga membuat lawakan. Bagi koruptor yang sadar akan kesalahannya lalu mengembalikan uang hasil korupsinya maka akan dimaafkan.
Prabowo seperti tidak mengerti hukum bahwa mengembalikan hasil kejahatan itu tidak dapat menghapuskan pidana. Bagaimana Pak Presiden ini?
Belum lagi proyek abolisi dan amnesti bagi 44.000 narapidana di dalamnya ada napi narkotika dan korupsi. Dari sisi HAM mungkin dapat dipahami tetapi dari sisi pencegahan dan pemberantasan sangat menjauhkan.
Apa yang dibanggakan dalam pemberantasan korupsi jika mampu menangkap 10 koruptor lalu membebaskan 1000 lainnya?
Tidaklah perlu hukum dijadikan alat pencitraan oleh rezim siapapun apalagi di tengah situasi bangsa yang sedang mengalami krisis multi-dimensional khususnya penegakan hukum.
Hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah masih sangat dirasakan. Maling batang kayu bisa dihukum lebih berat daripada merampok sambil main kayu. Pemimpin boneka kayu cukup dijewer tetapi pencuri kayu bakar dapat tahunan mendekam di penjara. (*)
Dalam kasus judi online 11 tersangka kelas bawah pegawai Kemenkomdigi sedang menuju ke meja hijau sementara sang mantan Menteri baru diperiksa bahkan status ke depan tidak jelas mungkin bisa bebas. Kita mencoba melupakan bahwa atasan yang membiarkan bawahan berbuat jahat itu sesungguhnya ikut menjadi penjahat. Atasan seperti itu terancam sanksi pidana.
Korupsi selalu dilakukan bersama-sama karenanya sulit dilepaskan dari keterlibatan atasan. Jika banyak Menteri korupsi maka Presiden harus ikut diperiksa.
Korupsi itu kejahatan extra ordinary karenanya pemberantasan harus dilakukan dengan penggunaan tangan besi. Jangan memberi buah tangan kepada koruptor. Jika itu yang terjadi maka semangat untuk memberantas sesungguhnya baru sebatas omon-omon. (*)