Sabtu, Februari 1, 2025
No menu items!

Berdiplomasi di Lingkungan Kerja: Seni Menjaga Profesionalisme

Must Read

Oleh Dr. Febyolla Presilawati, SE.MM | Dosen Tetap Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh

DALAM panggung kehidupan profesional, setiap individu berperan dalam skenario yang tak selalu terang benderang. Ada saatnya kita harus melangkah maju dan bersuara, namun ada pula waktu di mana diam menjadi kebijaksanaan tertinggi. Di antara hiruk-pikuk kantor, ruang rapat yang penuh perdebatan, dan meja kerja yang menyimpan rahasia kelelahan, kita sering bertanya: Haruskah aku berbicara? Ataukah lebih baik aku menyimpannya sendiri?

Kenyataan pahit dunia kerja mengajarkan bahwa tidak semua keluhan akan disambut dengan simpati. Sebagian orang tak peduli, sementara sebagian lainnya mungkin justru menikmati kesulitan kita. Namun, adakah cara yang lebih anggun untuk mengelola masalah tanpa kehilangan harga diri dan profesionalisme?

Dalam kacamata manajemen sumber daya manusia, bagaimana kita menyampaikan permasalahan mencerminkan lebih dari sekadar keberanian. Itu adalah cermin dari kedewasaan emosional, kecerdasan dalam berstrategi, dan pemahaman yang mendalam tentang dinamika organisasi.

Teori Perilaku Sosial (Social Behavior Theory) mengajarkan bahwa manusia bertindak berdasarkan insentif sosial. Dalam organisasi, seseorang yang terlalu sering mengeluhkan masalahnya dapat dipandang sebagai pribadi yang rapuh, kurang adaptif, atau bahkan tidak kompeten. Dunia kerja lebih menghargai mereka yang mampu mengatasi kendala dibandingkan mereka yang hanya mengeluh tanpa tindakan nyata.

Di sisi lain, Teori Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence Theory) yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman menekankan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi tahu kapan harus berbicara dan kepada siapa mereka harus berbicara. Mereka memahami bahwa kata-kata adalah pedang bermata dua—dapat membangun jembatan, tetapi juga bisa merobohkannya. Oleh sebab itu, mereka berbicara bukan untuk mencari belas kasihan, tetapi untuk menyampaikan gagasan yang membawa solusi.

Saat yang Tepat untuk Bersuara dan Diam

Dalam lingkungan kerja, memilih kapan harus berbicara dan kapan harus diam adalah seni yang memerlukan intuisi, pengalaman, dan kecermatan. Kapan kita harus berbicara? Pertama, ketika masalah yang dihadapi berpotensi menghambat produktivitas tim atau organisasi. Kedua, jika terjadi pelanggaran etika atau hukum, seperti ketidakadilan, diskriminasi, atau korupsi. Ketiga, jika lingkungan kerja terbuka terhadap kritik dan diskusi konstruktif.

Lalu kapan sebaiknya kita diam? Pertama, jika keluhan hanya didasarkan pada emosi sesaat tanpa solusi yang jelas. Kedua, jika berbicara hanya akan menambah konflik tanpa mengubah keadaan. Ketiga, jika lingkungan kerja tidak mendukung transparansi dan perubahan.

Menyuarakan permasalahan bukan hanya soal keberanian, tetapi juga soal strategi. Ada beberapa langkah untuk menyampaikannya dengan cara yang lebih elegan dan berkelas. Pertama, memilih pendengar yang tepat.

Tidak semua orang perlu mengetahui kesulitan kita. Mengeluh kepada mereka yang tak memiliki solusi hanya akan memperbesar lingkaran drama. Sampaikan kepada seseorang yang memiliki otoritas dan kepedulian untuk membantu, seperti atasan, mentor, atau bagian HRD.

Kedua, datang dengan solusi. Dalam dunia profesional, mereka yang membawa solusi akan lebih dihargai dari mereka yang hanya membawa masalah. Jika ada kesalahan dalam sistem kerja, sertakan saran perbaikannya. Jika ada kendala dalam komunikasi tim, tawarkan cara untuk meningkatkan koordinasi.

Ketiga, menjaga emosi dan mengelola ekspektasi. Tidak semua keluhan akan ditanggapi dengan baik. Itu adalah realitas yang harus diterima. Oleh karena itu, sampaikan permasalahan dengan ketenangan dan profesionalisme. Biarkan kata-kata kita membawa kejelasan, bukan kemarahan.

Mengelola masalah di dunia kerja bukan hanya tentang berbicara atau diam, tetapi tentang bagaimana kita menyampaikan permasalahan dengan kebijaksanaan, strategi, dan solusi yang membangun.

Dalam dunia profesional, seni mengelola masalah terletak pada keseimbangan antara berbicara dan diam. Kita tidak harus selalu vokal, tetapi kita juga tidak boleh sepenuhnya membisu. Memilih waktu yang tepat, berbicara dengan cara yang cerdas, serta membawa solusi yang konkret adalah langkah-langkah yang akan menjaga kredibilitas dan profesionalisme kita.

Ketika kita menyampaikan sesuatu, biarkan itu membawa nilai, bukan sekadar keluhan. Ketika kita memilih diam, biarkan itu menjadi tanda kebijaksanaan, bukan ketakutan. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga martabat sebagai seorang profesional, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, produktif, dan harmonis. (*)

Referensi:
Goleman, D. (2020). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Bloomsbury.

Muhammadiyah Salurkan Rp100 Juta Lebih untuk Kebakaran Kemayoran

JAKARTAMU.COM | Sejak dibuka 21 Januari 2025 lalu, Posko One Muhammadiyah One Response (OMOR) telah melaksanakan serangkaian kegiatan. Selain...

More Articles Like This