SAAT duka berteduh di relung jiwa, dan nestapa menoreh luka tanpa suara, ingatlah, wahai hati yang berselimut lara, setiap insan pun diuji, meski rupa nestapa berbeda.
Takdir kadang mengalirkan tangis, sebelum tawa kembali menari di bibir tipis, seperti hujan yang merenda pelangi, ujian mendewasakan, bukan untuk meruntuhkan diri.
Alif Laam Miim telah menggema, mengingatkan kita dalam bahasa surga, iman bukan sekadar ucapan manis, tetapi ujian yang mengasah benih-benih tulus.
Ketakutan, lapar, kehilangan bergilir, mengajarkan sabar kepada hati yang getir,membentuk pahlawan dari luka, mengangkat jiwa menjadi mulia di hadapan-Nya.
Wahai yang terbalut derita, ketahuilah: harta dan anak hanyalah titipan fana, mereka bukan istana abadi, melainkan ujian untuk menguji sejauh mana iman berdiri.
Sabar bukan hanya diam dan mematung, tapi menggenggam kuat harapan yang nyaris rapuh, adalah daya tahan di tengah gempuran, adalah keindahan yang tak semua mata mampu lihatkan.
Ia mengajarkan ketabahan berbalut doa, mengubah getir menjadi cahaya, menumbuhkan ketenangan di antara gelombang, mendekatkan kita kepada Allah, Sang Pemilik Tenang.
Sabar itu jembatan emas ke surga, bagi yang berikhtiar dan bertawakal sepenuh jiwa, ia bukan pelarian dari luka, tetapi pelantun pujian di tengah badai dunia.
Mereka yang mengerti hakikatnya, akan bersikap lapang dalam segala cuaca, tidak mencari kambing hitam, tidak menebar keluh di setiap malam.
Dari sabar terpancar teduhnya sinar, dari sabar terbit santunnya tutur yang melegakan dengar, semua duka, semua nestapa, menemui jawaban di tangan-Nya yang Maha Kuasa.
Semoga Allah menanamkan sabar di dadamu, meneguhkan langkahmu dalam perjuangan yang pilu, agar kelak kau mengerti, bahwa setiap luka yang sabar dirawat, akan bermuara pada ridha-Nya, pada bahagia yang tak pernah usang ditelan masa.
