YOGYAKARTA – JAKARTAMU | Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyatakan rakyat berhak memiliki pemimpin yang jujur dan amanah, cerdas berintegritas. Tetapi praktik politik uang telah membabat habis hak rakyat tersebut.
Karena itu, Busyro berharap Pilkada 2024 menjadi momentum kesadaran bersama masyarakat untuk memilih pemimpin dengan cara yang bersih dari politik transaksional.
”Muhammadiyah berkepentingan untuk mendorong warga Persyarikatan terlibat aktif, dalam menciptakan pemimpin dan birokrasi yang mencerminkan kriteria jujur, cerdas dengan rekam jejak yang pro terhadap kepentingan rakyat,” katanya dalam konferensi pers di Kantor Yogyakarta, Selasa (15/10/2024).
Busyro menerangkan, respons Muhammadiyah untuk Pilkada 2024 ini adalah bagian pelaksanaan amanah Muktamar ke-48 dalam kerangka kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan.
Dalil Haram Politik Uang
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas menjelaskan, keterlibatan Muhammadiyah dalam urusan pilkada sesuai pemahaman bahwa Islam adalah agama yang fungsional. Konsekuensinya, Muhammadiyah dan warganya akan selalu terlibat dalam urusan-urusan untuk menciptakan peradaban yang maju, adil, damai, dan sejahtera.
Hamim menegaskan riswah atau suap yang kerap berlangsung pada momentum politik jelas-jelas diharamkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pemberi, penerima, juga perantara semua masuk neraka.
Menurut Hamim, praktik riswah politik menjadi penyebab lemahnya umat Islam. Inilah yang membuat umat Islam yang besar secara jumlah tetapi tak memiliki kekuatan.
”Islam menjadi seperti hidangan di atas meja yang menjadi rebutan banyak orang yang berkuasa,” tuturnya.
Bikin Biaya Politik Membengkak
Efek buruk suap politik juga diungkapkan Ketua LHKP PP Muhammadiyah Ridho Alhamdi. Melalui studi lapangan yang dilakukan, dismpulkan bahwa suap menyebabkan biaya politik yang terus melambung.
LHKP menemukan data bahwa biaya minimal yang dikeluarkan calon legislatif DPRD kabupaten/kota sekitar Rp1 miliar, DPRD provinsi minimal Rp3 miliar, dan DPR minimal Rp15 miliar. Nominal tersebut berbeda di setiap daerahnya. “Angka itu di luar operasional, terlebih lagi untuk DPR RI di Dapil Jakarta bisa sampai Rp 30 sampai Rp 50 miliar. Kalau praktik suap masih terjadi, angka itu bisa makin besar pada Pilkada 2024,” ungkap Ridho.