JAKARTAMU.COM | Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr Busyro Muqoddas, SH. MHum menilai demokrasi di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Alih-alih menempatkan masyarakat dalam posisi terhormat, praktik demokrasi seperti tampak pada setiap pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) hanya menjadi ajang pembodohan rakyat.
”Bab I Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 berbunyi kedaulatan berada di tengah rakyat. Nah praktik pemilihan sejak 2004 sampai 2024 kemarin itu daulat rakyat itu dinodai. Rakyat diposisikan sebagai sapi perah. Bansos itu kan pembodohan? Lalu pelibatan aparat TNI, Polri kemarin itu juga pembodohan,” ujar Busyro di sela-sela bedah buku Sistem Pemilu Indonesia di Masjid At Tanwir PP Muhammadiyah, pekan lalu.
Menurut Busyro, apa yang terlihat dalam praktik demokrasi tersebut, sebenarnya hanyalah masalah hilir, yang berasal dari hulu, yaitu produk undang-undang di lembaga legislatif. Dia menyebut UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik yang menjadi dasar penyelenggaraan praktik demokrasi memang bermasalah.
Baca juga: Busyro Muqoddas: Trias Politika Sedang Alami Degradasi Moral pada Titik Terendah
”Ketika undang-undang ini kami kaji, memang banyak kelemahan. Cacat akademis, cacat demokrasi, dan menutup pintu terhadap partisipasi publik secara terbuka dan terukur, bukan terbuka yang basa-basi. Korbannya sudah banyak, tidak lagi dalam artian sempit. Korbannya itu manusia, masyarakat dan sumber daya alam,” kata mantan Ketua Komisi Yudisial ini.
Dalam konteks inilah, kata Busyro, Muhammadiyah bersama masyarakat sipil tergerak untuk ikut memberikan solusi.
”Sekarang Muhammadiyah siap dengan keterbatasannya yang ada tentunya. Nah, keterbatasan itu nanti bisa diisi teman-teman NGO yang lain, elemen masyarakat sipil yang lain. Mari kita berbaiki tiga undang-undang itu sebagai sumber masalah pokok ini agar demokrasi itu kemudian bisa berjalan tertib,” katanya.
Baca juga: Busyro Muqoddas Sebut Hak Rakyat untuk Punya Pemimpin Jujur Dibabat Politik Uang
Sistem Pemilihan Terbuka dan Tertutup
Muhammadiyah sendiri secara terbuka telah mengusulkan agar sistem pemilu dikembalikan ke sistem tertutup. Selain biaya yang dianggap lebih murah, sistem tertutup lebih mendorong kaderisasi partai ketimbang munculnya calon melalui bursa pasar bebas dalam sistem terbuka sebagaimana berlangsung sejak 2004.
Busyro mengakui usulan yang disampaikan Muhammadiyah tersebut dasarnya adalah evaluasi yang akademis. ”Demokrasi tanpa evaluasi itu lip service. Nah kalau evaluasinya nanti memang masih perlu dikembangkan ya dikembangkan,” ujar dia.
Busyro menganggap Pemilu 2024 memerlukan evaluasi secara khusus karena begitu kompleksnya masalah yang terjadi. ”2024 itu kan variasi sumber-sumber masalahnya banyak sekali. Sehingga temuan-temuan yang dulu itu masih perlu disempurnakan. Kalau misalnya hasilnya pada kebutuhan sistem tertutup atau terbuka, maka kalau tertutup seperti apa kalau terbuka seperti apa?” jelas Busyro.