Malam itu, Ardi duduk di teras rumah kontrakannya yang sederhana. Pandangannya kosong, pikirannya berkecamuk. Surat pemutusan kerja masih tergeletak di meja kecil di sampingnya, seolah mengejek kegagalannya. Sepuluh tahun ia mengabdi di perusahaan itu, tetapi hanya dalam satu keputusan, semuanya berakhir. Tidak ada pesangon yang cukup untuk bertahan lama, dan tidak ada rencana cadangan yang sudah ia siapkan.
“Hilang satu, tumbuh seribu,” suara ibunya di masa kecil kembali terngiang di kepalanya. Kata-kata itu dulu terdengar seperti sekadar nasihat biasa, tapi kali ini, ia merasa seolah-olah itu adalah pesan yang harus ia pahami lebih dalam. Mungkinkah benar bahwa kehilangan ini akan membawa sesuatu yang lebih besar? Tapi bagaimana?
Beberapa hari berlalu, Ardi masih tenggelam dalam kebingungan. Ia mencoba mencari pekerjaan baru, tetapi semua lamaran yang dikirim belum mendapat jawaban. Dalam keputusasaan, ia mulai mengingat kembali apa yang benar-benar ia sukai. Sejak kecil, Ardi selalu menikmati memasak. Ia senang menghabiskan waktu di dapur bersama ibunya, mengamati bagaimana bumbu-bumbu sederhana bisa berubah menjadi hidangan lezat yang membuat siapa pun tersenyum. Namun, selama ini ia selalu menganggap memasak hanya sebagai hobi, bukan jalan hidup.
Sore itu, sambil merenungkan apa yang harus ia lakukan, Ardi melihat sekantong tepung yang tersisa di dapurnya. Ia teringat pada resep roti goreng yang dulu sering dibuat ibunya untuk dijual di pasar pagi. Ia berpikir, mengapa tidak mencoba? Dengan peralatan seadanya, ia mulai membuat adonan, menguleni dengan penuh harapan. Aroma harum roti goreng yang matang menyebar di rumah kecilnya, membangkitkan kenangan dan juga keyakinan baru dalam dirinya.
Keesokan harinya, dengan modal nekat, Ardi membawa sepuluh bungkus roti goreng ke sebuah sudut pasar yang ramai. Ia menggelar tikar kecil dan mulai menawarkan dagangannya. Awalnya, ia merasa malu dan canggung. Namun, saat pelanggan pertama datang dan membeli, ia merasa ada harapan baru yang tumbuh. Dalam waktu satu jam, seluruh roti gorengnya habis terjual. Keuntungan yang ia dapat memang tidak seberapa dibandingkan gajinya dulu, tetapi ada kepuasan yang tak bisa ia jelaskan.
Hari demi hari, Ardi semakin serius mengembangkan usaha kecilnya. Ia bereksperimen dengan berbagai rasa dan isian, menambahkan inovasi agar produknya lebih menarik. Dalam waktu beberapa bulan, ia sudah memiliki pelanggan tetap. Orang-orang di pasar mulai mengenal dan menyukai roti gorengnya. Bahkan, ada seorang pelanggan yang menawarinya tempat berjualan di depan sebuah toko yang lebih strategis. Peluang itu ia sambut dengan semangat, dan bisnisnya semakin berkembang.
Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Ada hari-hari ketika jualannya tidak laku, ada saat-saat ia merasa lelah dan ragu. Tetapi setiap kali ia hampir menyerah, ia mengingat kembali pepatah ibunya, “Hilang satu, tumbuh seribu.” Ia belajar bahwa kegagalan bukanlah akhir, melainkan pintu menuju awal yang baru.
Satu tahun berlalu, dan Ardi kini bukan lagi pria yang putus asa karena kehilangan pekerjaannya. Ia telah menemukan jalannya sendiri, membangun bisnis yang tidak hanya memberinya penghasilan, tetapi juga kebahagiaan dan makna dalam hidup. Dari satu kehilangan, tumbuh banyak peluang yang bahkan tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Suatu hari, saat sedang menyiapkan adonan, ibunya datang berkunjung. Wanita tua itu tersenyum bangga melihat anaknya yang dulu begitu terpukul, kini mampu bangkit dengan cara yang tak terduga. Ia mengambil satu roti goreng dari nampan, menggigitnya perlahan, lalu berkata dengan penuh kebahagiaan, “Lihat, Nak, kadang kita memang harus kehilangan sesuatu dulu agar bisa menemukan yang lebih baik.”
Ardi tersenyum. Ia kini benar-benar memahami makna pepatah itu. Kehilangan bukanlah akhir, tetapi kesempatan untuk tumbuh lebih kuat dan menemukan jalan baru yang lebih baik. Cahaya selalu tumbuh dari kegelapan, dan keberhasilan sejati lahir dari keberanian untuk melangkah maju. (Dwi Taufan Hidayat)