JAKARTAMU.COM | Rakernas LAZISMU tahun ini mengusung tema besar “Sinergi Kebajikan untuk Inovasi Sosial dan Capaian SDGs”. Hajatan yang diselenggarakan mulai hari ini, dari tanggal 29 November-1 Desember 2024, bertempat di gedung Balai Besar pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi (BBPP-MPV) Daerah Istimewa Yogyakarta ini diharapkan menelurkan hal-hal yang besar.
Tema ini mencerminkan komitmen dan upaya kita untuk meningkatkan kontribusi LAZISMU dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Hal yang tetap menarik dan terhidang di depan mata kita adalah menyangkut masalah asnab zakat. Salah satunya asnab fii sabilillah. Asnab ini sepertinya agak dilupakan. Mengapa masalah ini begitu penting?
Suatu ketika, dalam sebuah fit and proper test beberapa calon kepala sekolah Muhammadiyah, salah satu Tim penguji dari Majelis Dikdasmen PWM DKI Jakarta bertanya secara bergantian kepada masing-masing calon kepala sekolah. “Kira-kira berapa honor yang layak diterima untuk kepala sekolah di tempat bapak dan ibu?”
Salah seorang calon kepsek spontan menjawab: “Kami hanya berharap dan selalu berdoa agar bisa sesuai dengan UMP atau setidaknya mendekati UMP DKI Jakarta.”
Bagi mereka yang belum tahu, boleh jadi kaget. Kepala sekolah menerima honor di bawah UMP yang kini Rp5 juta, berapa dengan honor guru biasa? Singkat kata, jauh dari memadai. Sungguh jika demikian, banyak Asnaf mustahik zakat dalam sekolah-sekolah di Jakarta, termasuk di Muhammadiyah.
Di sisi lain, Perguruan Muhammadiyah yang sudah mapan hanya berbeda beberapa kacamatan saja, punya program memberangkatkan para guru dan kepseknya untuk study tour ke luar negeri.
Ada juga Perguruan Muhammadiyah yang secara rutin memberikan hadiah umrah untuk guru dan karyawan teladan pada momentum acara Milad Muhammadiyah.
Guru dengan pendapatan jauh di bawah UMP jelas termasuk miskin. Andai pun tidak miskin mereka ini masuk kategori asnab fi sabilillah. Memang sih, jumhur ulama termasuk di dalamnya 4 Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak memasukkan mereka. Fi sabilillah, menurut mereka, adalah para peserta pertempuran fisik melawan musuh-musuh Islam dalam rangka menegakkan syariat.
Namun, para ulama di era modern ini cenderung meluaskan makna fi sabilillah, tidak hanya terbatas pada peserta perang fisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain.
Di antara yang mendukung pendapat ini adalah Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Dr. Muhammad `Abdul Qadir Abu Farisdan, Syaikh Yusuf al-Qardhawi.
Dasar pendapat mereka juga ijtihad yang sifatnya agak luas serta bicara dalam konteks fikih prioritas. Di era sekarang ini, medan jihad fi sabilillah secara fisik (berperang) boleh dibilang tidak terlalu besar.
Sementara tarbiyah dan pembinaan umat yang selama ini terbengkalai perlu dukungan dana yang cukup
Oleh karena itu, dalam kitab Fiqhuz Zakah, Syaikh Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa asnaf fi sabilillah, selain jihad secara pisik, juga termasuk di antaranya adalah: Untuk biaya pendidikan sekolah Islam yang akan melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/dai yang akan diprioritaskan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui ilmunya adalah jihad fi sabilillah.
Dalam hal pembiayaan operasional pendidikan tersebut di dalamnya adalah untuk honor yang layak kepada gurunya dalam rangka visi misi tujuan yang diprogramkan itu berjalan secara maksimal dan tercapai.
Akhirnya kita berharap Perguruan Muhammadiyah yang mapan itu hendaknya memiliki program ta’awun. Lewat LAZISMU masing-masing menganggarkan atau membuat program ta’awwun, juga membantu guru-guru tetangganya yang belum mampu, agar mereka terangkat juga untuk menjadi sama-sama maju di masa depan.
Sekolah-sekolah Islam yang sudah mapan hendaknya menyisihkan sedikit keuntungannya untuk membantu para mujahid mujahidah di sekolah tetangganya tersebut, agar mereka aman dan lancar dalam jihad mereka, mendidik serta mencetak generasi baru mujahid masa depan.
Kembali ke Rakernas LAZISMU, jika temanya “Sinergi Kebajikan untuk Inovasi Sosial dan Capaian SDGs” harusnya bisa menyentuh hal-hal yang kita harapkan itu.
Namun untuk dapat melaksanakannya memang butuh pimpinan yang kredible serta mampu melaksanakan hal tersebut dan punya tekad bergotong-royong antar-Amal Usaha Muhammadiyah.