Oleh: Sugiyati, S.Pd. | Guru SMA Negeri I Ambarawa Kabupaten Semarang
PAGI itu, mentari menyelinap malu-malu di balik gumpalan awan kelabu. Udara dingin masih membekap jalanan yang sunyi. Hanya suara burung gereja yang sesekali terdengar, bertengger di kabel-kabel listrik di tepi jalan. Di tengah keheningan itu, derit roda sepeda tua memecah suasana. Arman, seorang pengantar koran, mengayuh perlahan, mencoba menyeimbangkan tubuhnya di atas sepeda yang sudah mulai aus oleh waktu.
Di keranjang depan sepedanya, gulungan-gulungan koran tersusun rapi, siap untuk disampaikan ke para pelanggan. Namun, meski rutinitas ini sudah ia jalani bertahun-tahun, ada satu rumah yang selalu terasa berbeda baginya. Rumah tua di ujung jalan, dengan cat tembok yang mulai mengelupas dan pagar besi yang berkarat, menyimpan sesuatu yang membuat langkah Arman sering kali terasa berat.
Setiap kali tiba di sana, ia tidak bisa sekadar melemparkan koran ke depan pintu atau menyelipkannya lewat lubang kotak surat seperti di rumah-rumah lain. Pemilik rumah itu, seorang lelaki tua bernama Pak Hasan, selalu meminta Arman untuk mengetuk pintu atau membunyikan bel terlebih dahulu.
Awalnya, permintaan itu terasa merepotkan. Dalam pikirannya, waktu adalah uang. Menghentikan sepeda, turun, mengetuk pintu, menunggu, dan menyerahkan koran secara langsung memakan waktu lebih lama daripada sekadar melemparkannya. Namun, permintaan itu kini telah menjadi bagian dari rutinitas yang entah kenapa mulai ia nikmati, meskipun ia tak sepenuhnya mengerti alasannya.
Pagi itu, seperti biasa, Arman berhenti di depan rumah Pak Hasan. Ia turun dari sepeda, merapikan jaketnya, lalu melangkah mendekati pintu kayu yang tampak semakin lapuk. Ia mengetuk pelan tiga kali.
“Pak Hasan, ini saya, korannya sudah datang!” serunya cukup keras.
Beberapa detik berlalu dalam hening sebelum terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Bunyi seretan sandal menemani langkah yang terasa pelan dan lemah. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan wajah Pak Hasan. Rambutnya memutih, tubuhnya kurus, dan kerutan di wajahnya bercerita banyak tentang usia dan pengalaman hidupnya. Meski begitu, senyumnya tetap ramah, seperti mentari pagi yang perlahan menembus kabut.
“Selamat pagi, Nak Arman,” sapanya dengan suara parau.
“Selamat pagi, Pak Hasan,” jawab Arman sambil menyerahkan koran. “Pak, kenapa lubang kotak suratnya masih ditutup? Bukankah lebih praktis kalau saya langsung memasukkan korannya ke sana?”
Pak Hasan mengusap tengkuknya dengan ragu. Ia tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Saya sengaja menutupnya, Nak.”
Arman memiringkan kepala, bingung. “Kenapa, Pak?”
Pak Hasan menatapnya dengan sorot mata yang dalam. Ada sesuatu di sana—kesedihan, kerinduan, atau mungkin keduanya. “Nak,” katanya pelan, “saya ingin mendengar ketukan pintu. Kalau kamu datang, ketuklah atau bunyikan bel. Saya ingin tahu bahwa ada seseorang yang mengetuk pintu saya.”
Kata-kata itu membuat Arman terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, ia merasa permintaan itu tidak masuk akal, tetapi di sisi lain, ia menangkap rasa sepi yang begitu mendalam dalam nada suara Pak Hasan.
“Ketukan pintu itu seperti tanda bahwa saya masih ada,” lanjut Pak Hasan. “Bahwa ada seseorang yang mengingat saya, meski hanya untuk mengantarkan koran.”
Arman menunduk, merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Sebagai seorang pengantar koran, ia tidak pernah berpikir bahwa rutinitasnya yang sederhana bisa berarti begitu besar bagi seseorang.
“Pak,” katanya pelan, “tapi kalau suatu hari saya mengetuk pintu ini dan tidak ada jawaban, apa yang harus saya lakukan?”
Pak Hasan tersenyum kecil, meski senyum itu tampak lelah. Ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan selembar kertas kecil. “Ini nomor telepon anak saya. Kalau suatu hari saya tidak membuka pintu, tolong hubungi dia, ya. Jangan biarkan saya sendirian terlalu lama.”
Arman menerima kertas itu dengan tangan gemetar. Ia membaca angka-angka yang tertera di sana, mencoba mengingatnya baik-baik. “Bapak tidak apa-apa, kan?” tanyanya, khawatir.
Pak Hasan mengangguk pelan. “Sejauh ini, masih baik-baik saja. Tapi siapa yang tahu, Nak? Usia saya sudah tidak muda lagi.”
Hari itu, Arman meninggalkan rumah Pak Hasan dengan perasaan berat. Ketukan pintu yang selama ini ia anggap sepele ternyata memiliki makna yang begitu mendalam. Sepanjang perjalanan, ia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Pak Hasan. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, sebuah rasa tanggung jawab yang tiba-tiba muncul.
Minggu demi minggu berlalu. Setiap pagi, Arman mengetuk pintu Pak Hasan, menyerahkan koran, dan berbicara sejenak dengannya. Percakapan mereka sering kali singkat dan sederhana, tetapi bagi Pak Hasan, momen itu adalah cahaya kecil di tengah kesunyian yang menyelimuti hidupnya.
Arman mulai menyadari bahwa pekerjaannya sebagai pengantar koran bukan sekadar rutinitas. Ia adalah penghubung, pengingat, bahkan penyelamat bagi jiwa-jiwa yang kesepian. Dan suara ketukan pintu, yang selama ini ia anggap biasa saja, ternyata adalah tanda kehidupan bagi seseorang. (Bersambung)