Minggu, Maret 16, 2025
No menu items!
spot_img

CERPEN: Air Mata Ibu dan Impian di Balik Gerobak Tahu

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Di sebuah kota kecil di Jawa Timur, hidup seorang ibu bernama Bu Sari yang setiap pagi mendorong gerobak tahunya ke pasar. Dengan keringat yang mengalir di pelipisnya, ia menjajakan tahu buatannya dengan penuh kesabaran. Baginya, setiap butir tahu yang terjual adalah harapan untuk masa depan anaknya, Ardi Prasetya.

Ardi bukan anak yang banyak menuntut. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan hidup sederhana. Namun, satu impian yang selalu ia jaga erat di hatinya: menjadi seorang polisi. Setiap kali melihat aparat bertugas di jalan atau menonton berita di televisi tentang keberanian mereka, hatinya bergetar. Ia ingin menjadi bagian dari mereka, menjadi sosok yang melindungi dan mengayomi masyarakat.

Namun, tidak semua orang percaya pada mimpinya.

“Anak tukang tahu mau jadi polisi? Emang punya uang berapa?” sindir seorang tetangga saat mendengar Ardi berencana mendaftar ke Akademi Kepolisian.

Komentar itu bukan sekali dua kali ia dengar. Bahkan, di pasar tempat ibunya berjualan, orang-orang sering bergunjing di belakang Bu Sari.

“Kalau nggak ada duit, percuma. Daftar polisi itu nggak murah,” kata seorang ibu penjual sayur sambil melirik sinis ke arah Bu Sari.

Perempuan itu hanya bisa diam. Hatinya sakit, tetapi ia tak pernah mengeluh. Di hadapan Ardi, ia tetap tersenyum dan berkata, “Jangan dengarkan mereka, Nak. Niatkan bismillah, usaha dan doa pasti membawa jalan.”

Perjuangan yang Tidak Mudah

Perjalanan Ardi untuk masuk Akpol tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia harus bersaing dengan ribuan peserta lain dari seluruh Jawa Timur. Tes demi tes ia jalani, dari ujian akademik, tes kesehatan, hingga tes psikologi.

Untuk persiapan, Ardi berlatih setiap hari. Setiap subuh, sebelum pasar ramai, ia sudah bangun dan berlari mengitari desa. Ia melakukan push-up, sit-up, dan berbagai latihan fisik untuk memastikan tubuhnya selalu dalam kondisi prima.

Siang hari, setelah membantu ibunya di rumah, ia belajar. Ia membaca buku-buku hukum, memperdalam wawasan umum, dan berlatih soal-soal psikotes.

Namun, ada satu hal yang paling sulit: biaya transportasi ke Surabaya untuk tes. Keluarganya tak punya cukup uang. Ayahnya seorang buruh bangunan yang penghasilannya pas-pasan. Bu Sari bahkan harus merelakan uang yang seharusnya untuk membayar kontrakan agar Ardi bisa pergi ke Surabaya.

“Udah, Nak. Urusan kontrakan nanti ibu pikirkan. Yang penting kamu fokus sama tesnya,” ujar Bu Sari, meskipun dalam hatinya ada kekhawatiran besar.

Malam-malam yang penuh kecemasan menyelimuti keluarga kecil itu. Bu Sari tak bisa tidur. Ia sering terbangun tengah malam hanya untuk memastikan Ardi baik-baik saja. Setiap kali Ardi berada di Surabaya untuk tes, ia selalu menunggu telepon darinya.

“Hari ini gimana, Nak?” tanyanya setiap malam.

“Alhamdulillah lancar, Bu. Doakan besok juga lancar,” jawab Ardi.

Dan Bu Sari pun kembali berdoa, berharap anaknya mendapatkan yang terbaik.

Saat-Saat Menegangkan

Hari pengumuman tiba. Ardi duduk di depan layar komputer, menunggu namanya disebut. Tangan dan kakinya gemetar. Hatinya berdebar kencang.

Bu Sari, yang duduk di rumah menunggu kabar, tidak bisa tenang. Ia bolak-balik ke dapur, pura-pura sibuk menggoreng tahu, padahal pikirannya melayang ke anaknya.

Tiba-tiba, telepon berdering. Dengan tangan gemetar, ia mengangkatnya.

“Lolos, Bu! Aku lolos!” suara Ardi terdengar bergetar, penuh haru.

Bu Sari tak mampu menahan air matanya. Tangisnya pecah, bukan karena sedih, tapi karena rasa syukur yang meluap-luap. Semua ejekan yang dulu ia terima kini tak lagi berarti.

“Alhamdulillah, Nak… Pulanglah, Ibu ingin memelukmu,” lirih Bu Sari dengan mata berkaca-kaca.

Ardi pulang dengan membawa kebanggaan. Tetangga yang dulu mencibir kini berubah sikap. Mereka mulai menyanjung keberhasilannya.

“Hebat ya, anak Bu Sari. Nggak nyangka bisa masuk Akpol,” ujar seorang ibu yang dulu pernah mengejek.

Bu Sari hanya tersenyum. Ia tak ingin membalas dendam. Baginya, kebahagiaan Ardi adalah jawaban atas semua keraguan yang pernah mereka hadapi.

Kesuksesan yang Diraih dengan Kejujuran

Setelah resmi menjadi taruna Akpol, Ardi mendapat banyak pertanyaan dari teman-temannya.

“Kamu bayar berapa buat masuk?” tanya seorang rekan.

Ardi tersenyum. “Nggak sepeser pun. Ini semua karena usaha, doa ibu, dan karena Polri memang transparan dalam seleksi.”

Ia merasa bangga bisa membuktikan bahwa tidak semua jalur masuk Akpol harus lewat uang. Ia adalah bukti nyata bahwa anak dari keluarga sederhana pun bisa meraih impiannya jika berusaha dengan sungguh-sungguh.

Di hari itu, gerobak tahu Bu Sari bukan lagi sekadar alat mencari nafkah. Ia menjadi saksi bisu sebuah perjuangan panjang—tentang mimpi yang tak menyerah pada hinaan, tentang pengorbanan seorang ibu, dan tentang seorang anak yang membuktikan bahwa tekad lebih kuat daripada sekadar harta.

spot_img

Bukan Hanya ‘Man Shauma’ Tapi Juga ‘Man Qama’ Ramadhan

JAKARTAMU.COM -- Al Ustadz Drs John Hendri Sutan Iskandar mengingatkan bahwa Ramadhan merupakan bulan Alqur-an. Oleh karenanya, setiap muslim...

More Articles Like This