Senin, Februari 24, 2025
No menu items!

CERPEN: Api di Balik Tirai

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

BARA itu bermula dari satu percikan kecil. Sekadar pesan singkat yang tampaknya tak berbahaya: “Apa kabar? Lama nggak ketemu.”

Laras membaca pesan itu dengan perasaan bergetar. Nama pengirimnya terpampang jelas di layar: Dion. Mantan kekasihnya dari masa kuliah. Sekian tahun berlalu, mereka menjalani kehidupan masing-masing. Laras menikah dengan Bagas, seorang pria yang sabar dan penuh tanggung jawab. Sementara Dion menikah dengan perempuan lain yang kini tinggal bersamanya di kota seberang.

Namun, satu pesan itu bagaikan korek api yang diseret di permukaan kotaknya. Api kecil menyala, menari-nari di sudut hatinya yang rapuh.

Pada awalnya, Laras hanya membalas dengan sopan. Basa-basi sederhana. Namun, percakapan itu berkembang. Laras tidak tahu pasti kapan garis batas itu mulai kabur. Apakah saat Dion mulai mengungkapkan bahwa pernikahannya tidak seindah yang orang kira? Atau saat Laras sendiri mulai merasa Bagas semakin jauh, semakin tenggelam dalam pekerjaannya dan lupa menanyakan kabarnya di akhir hari?

Mereka berbicara lebih sering. Mengulang kenangan lama. Membicarakan hidup yang mereka jalani—dan yang mereka tinggalkan. Dion mulai menyelipkan pujian-pujian kecil, mengingatkan Laras akan dirinya yang dulu: gadis ceria yang bercita-cita tinggi. Laras merasa hidup kembali.

Seperti yang sering terjadi, semuanya terasa ringan, mudah. Hingga suatu malam, ketika mereka akhirnya bertemu di sebuah kafe kecil, Laras sadar bahwa ia telah melangkah terlalu jauh.

Rasa bersalah menggerogoti hatinya setiap kali ia pulang ke rumah dan menemukan Bagas tengah duduk di ruang keluarga, menatap layar televisi tanpa benar-benar menonton. Ada jeda panjang di antara mereka, sebuah kekosongan yang tak bisa ia isi meskipun ia telah mencoba.

Dion adalah tempat pelariannya. Ia menemukan kehangatan yang dulu pernah ada. Ia menemukan seseorang yang membuatnya merasa hidup.

Namun, ia juga tahu, semua ini salah.

Laras mencoba mengakhiri semuanya. Tapi Dion meyakinkannya, “Kita nggak salah, Ras. Kita hanya dua orang yang mencari kebahagiaan.”

“Malam itu, ia pulang lebih larut dari biasanya. Bagas sudah tidur. Laras berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Ia bertanya pada diri sendiri: siapa ia sekarang?”

Laras tahu itu bohong. Tapi anehnya, ia ingin percaya.

Malam itu, ia pulang lebih larut dari biasanya. Bagas sudah tidur. Laras berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Ia bertanya pada diri sendiri: siapa ia sekarang?

Ia ingat hari pernikahannya. Ingat janji yang ia ucapkan dengan suara bergetar, “Aku akan mencintaimu dalam suka dan duka.”

Bagaimana ia bisa sampai di titik ini?

Ia ingin berhenti. Ia harus berhenti.

Tapi setiap kali ia mencoba menarik diri, ada sesuatu yang menariknya kembali.

Dion semakin mendominasi pikirannya. Apa yang semula hanya sebuah selingan kini telah menjadi bagian dari dunianya. Ketika Bagas tertidur, Laras terjaga dengan ponsel di tangannya, menunggu pesan dari Dion.

Ketika pagi datang, ia berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Hingga suatu sore, ia menemukan Bagas duduk di ruang tamu dengan wajah yang tidak biasa.

“Ada apa?” tanya Laras, mencoba terdengar tenang.

Bagas tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan ponselnya.

Laras membaca pesan-pesan di layar. Pesan yang ia kirimkan kepada Dion. Kata-kata yang seharusnya tidak pernah tertulis.

Darahnya mengalir deras ke wajahnya.

“Bagas… aku bisa jelasin—”

Bagas menghela napas. “Aku nggak butuh penjelasan. Aku cuma mau tahu, Laras… Apa yang kurang dari aku?”

Laras membuka mulutnya, tapi tidak ada kata yang keluar. Ia ingin berkata bahwa ini bukan salah Bagas sepenuhnya. Bahwa ia sendiri pun tidak mengerti bagaimana ia bisa sampai di titik ini. Bahwa semuanya terasa seperti peristiwa di luar kendalinya.

Tapi bukankah itu dusta? Bukankah ia selalu punya pilihan?

Malam itu, Laras duduk di dalam kamar dengan ponselnya tergeletak di meja. Dion menelepon. Berkali-kali.

Tapi Laras tidak menjawab.

Bagas tidak berbicara banyak sejak sore tadi. Ia hanya mengatakan bahwa ia butuh waktu.

Dan Laras… ia tahu inilah waktunya. Untuk benar-benar berhenti. Untuk menghadapi apa yang telah ia lakukan.

Selingkuh tidak pernah tentang siapa yang lebih baik. Tidak pernah hanya tentang mencari kebahagiaan. Selingkuh adalah tentang ketidakjujuran—terhadap pasangan, terhadap diri sendiri.
Laras menatap ponselnya yang masih bergetar.
Ia mengulurkan tangan, menekan satu tombol.
Blokir.
Ia menutup matanya.
Luka ini akan sembuh. Tapi ia tahu, bekasnya akan selalu ada.

Ancaman Kekeringan Global 2025: Realitas, Prediksi, dan Langkah Antisipasi

JAKARTAMU.COM | Kekeringan adalah salah satu ancaman global yang semakin meningkat akibat perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang...

More Articles Like This