Batavia, 1846.
Panas menyengat menggantung di langit Batavia. Jalanan berdebu, udara pengap, dan aroma laut bercampur dengan bau keringat manusia yang berlalu-lalang. Di balik jendela kaca Hotel Des Indes, seorang lelaki duduk tenang di sebuah meja kayu jati, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan irama tak beraturan.
“Van der Veen, kau yakin barang itu sudah tiba?” suara bariton penuh wibawa itu datang dari pria yang mengenakan setelan putih khas Eropa.
Van der Veen, seorang pengusaha Belanda yang baru saja mendapatkan kontrak dagang dari Roselie en Co., mengangguk penuh percaya diri. “Tentu, Tuan De Witt. Es batu itu telah sampai di pelabuhan pagi ini. Butuh waktu lama untuk membawanya ke sini, tapi kami telah memastikan es itu tetap utuh dengan teknik penyimpanan yang cermat.”
Di sudut ruangan, seorang lelaki keturunan Tionghoa yang lebih muda memperhatikan percakapan itu dengan saksama. Kwa Wan Hong, seorang pedagang ulet dari Semarang, telah mendengar banyak tentang es batu yang didatangkan dari negeri seberang lautan. Ia tahu, jika es batu benar-benar bisa dibuat di Batavia, maka itu akan menjadi peluang besar bagi masa depan bisnisnya.
Namun, tak semua orang di ruangan itu memiliki niat baik.
De Witt, seorang pejabat tinggi VOC yang juga memiliki kepentingan dalam perdagangan eksklusif di Batavia, telah lama memonopoli berbagai komoditas mewah. Ia memandang es batu ini sebagai simbol keistimewaan dan kendali atas kalangan elit. Baginya, tidak ada tempat bagi pribumi atau orang Tionghoa dalam bisnis ini.
“Es ini hanya untuk orang-orang seperti kita,” katanya seraya menatap sinis ke arah Kwa Wan Hong. “Bukan untuk orang-orang pasar yang hanya tahu menjual ikan lele dan menjajakan ubi di tepi jalan.”
Kwa Wan Hong mengepalkan tangan di balik lengan bajunya. Ia telah menghadapi banyak rintangan dalam hidupnya, dan kini ia merasa bahwa monopoli Belanda tidak akan bertahan selamanya. Dalam hatinya, ia bersumpah akan membangun pabrik es batu sendiri.
Tahun-tahun berlalu.
Kwa Wan Hong bekerja tanpa lelah, mengumpulkan modal, mempelajari teknik pembuatan es, dan membangun koneksi dengan para insinyur yang memahami cara kerja mesin pendingin. Akhirnya, pada tahun 1885, ia mendirikan N.V. Ijs Fabriek Hoo Hien, pabrik es pertama di Indonesia.
Keberhasilannya bukan tanpa tantangan. De Witt, yang telah pensiun tetapi tetap berpengaruh, tidak tinggal diam. Dengan menggunakan jaringan politiknya, ia berusaha menggagalkan bisnis Kwa dengan berbagai cara—membebankan pajak tinggi, menyabotase pengiriman bahan baku, hingga menyuap pejabat agar menutup pabriknya.
Namun, semangat Kwa Wan Hong lebih dingin dari es yang ia produksi.
“Jika mereka ingin menghancurkan bisnis ini, mereka harus menghancurkan semangatku dulu,” gumamnya suatu malam, sambil menatap mesin pendingin yang berdentum di ruang produksinya.
Batavia, 1890.
Kwa Wan Hong duduk di ruang kerjanya ketika seorang kurir tergesa-gesa masuk membawa sepucuk surat. Tangan tuanya bergetar saat membaca isinya.
Pemerintah kolonial telah mengeluarkan peraturan baru—pabrik es pribumi akan dikenakan pajak tambahan sebesar dua kali lipat dari sebelumnya. Ini adalah pukulan telak. Kwa tahu bahwa pabriknya tak akan bertahan lama dengan beban finansial sebesar itu.
Sementara itu, di seberang kota, De Witt tersenyum puas di atas kursinya. Meskipun ia tak lagi berkuasa secara langsung, pengaruhnya masih kuat di antara para pejabat. Ia telah memenangkan pertarungan ini—es batu akan kembali menjadi barang eksklusif, bukan sesuatu yang bisa diakses oleh rakyat biasa.
Beberapa bulan kemudian, dengan hati berat, Kwa Wan Hong menutup pabriknya. Para pekerja kehilangan mata pencaharian, dan es batu kembali menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.
Di sebuah rumah kecil di Semarang, seorang lelaki tua duduk termenung, menatap kepingan es terakhir yang ia buat sendiri. Seiring dengan mencairnya es di tangannya, perlahan-lahan, harapannya pun luruh.
Di luar, Batavia tetap panas, tetap pengap, tetap menjadi kota di mana hanya segelintir orang yang boleh merasakan kesejukan.
Dwi Taufan Hidayat | Penasihat Takmir Mushala Al-Ikhlas Desa Bergas Kidul Kabupaten Semarang