Sabtu, Maret 22, 2025
No menu items!
spot_img

CERPEN: Bayangan di Ujung Senja

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Langit sore itu membara, seolah ikut menangisi nasib seorang bocah kecil yang berjalan perlahan di sepanjang jalan desa. Langkahnya terseok-seok, membawa beban yang tampak lebih berat dari tubuhnya sendiri—beberapa gulungan pagar bambu yang ia buat dengan tangan mungilnya. Keringat membasahi dahinya, bercampur debu yang menempel akibat angin sore yang mulai berhembus.

Ramadhani, bocah sebelas tahun, berhenti sejenak di bawah pohon rindang di pinggir jalan. Ia memejamkan mata, mengatur napas yang tersengal. Hari ini belum ada satu pun orang yang membeli pagar bambunya. Dari pagi hingga hampir petang, ia berjalan tanpa hasil. Satu-satunya yang membuatnya terus bertahan adalah bayangan adiknya, Siti, yang menunggunya di rumah dengan perut lapar.

Ketika malam tiba, Ramadhani pulang dengan tangan kosong. Rumahnya kecil, hanya gubuk reyot yang terbuat dari kayu dan bambu. Siti tengah tidur meringkuk di atas tikar lusuh, pelukan kecilnya memeluk kain tipis yang dulu milik ibunya. Ramadhani menghela napas panjang, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Ia duduk di samping adiknya, membelai rambutnya dengan lembut.

Keesokan harinya, ia kembali berkeliling menawarkan pagar bambunya. Senyum kecil ia paksakan setiap kali bertemu orang. “Pagar bambu, Pak, Bu. Lima ribu saja,” suaranya lirih, namun penuh harapan. Tapi kebanyakan orang hanya meliriknya sekilas dan berlalu.

Kenangan pun berkelebat di kepalanya. Dulu, rumahnya tak seperti ini. Ada sosok ibu yang selalu tersenyum, meski tubuhnya lemah setelah melahirkan Siti. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ibunya pergi untuk selamanya ketika Siti baru lahir. Ayahnya, yang sejak lama berjuang sebagai buruh tani, masih berusaha bertahan. Tapi hanya lima bulan setelah kepergian ibu, ayah pun menyusul. Penyakit paru-paru yang lama dideritanya akhirnya merenggut nyawanya.

Sejak saat itu, Ramadhani dan Siti hidup hanya berdua. Ia masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi. Yang ia tahu, rumah mereka semakin sunyi, dan ia harus bertahan demi adiknya.

Suatu hari, seorang pria tua melihat Ramadhani duduk termenung di tepi jalan, dengan pagar bambu yang masih utuh. “Nak, dari tadi jualan tapi belum ada yang beli?” tanyanya.

Ramadhani mengangguk. Pria itu menghela napas dan mengambil selembar uang dari sakunya. “Ini buat makanmu dan adikmu,” katanya.

Namun, Ramadhani menggeleng. “Saya tidak mau menerima uang tanpa bekerja, Pak. Kalau Bapak tidak butuh pagar ini, saya tidak bisa menerimanya,” jawabnya dengan mata berkaca-kaca.

Pria tua itu terdiam. Ada rasa kagum di matanya. Ia lalu mengambil dua pagar bambu. “Baiklah, saya beli dua. Besok kalau masih ada, datanglah ke rumah saya,” ujarnya sambil menyebut alamatnya.

Malam itu, Ramadhani pulang dengan sepotong roti dan sebungkus nasi untuk Siti. Gadis kecil itu melompat kegirangan ketika melihat makanan. “Kakak hebat!” serunya sambil memeluk erat Ramadhani.

Namun, perjuangan tidak berhenti di situ. Ramadhani sadar bahwa menjual pagar bambu semakin sulit. Ia mulai mencari pekerjaan lain, namun orang-orang menganggapnya masih terlalu kecil. Dalam keputusasaan, ia mengingat perkataan pria tua yang membeli pagar bambunya.

Pagi-pagi sekali, ia pergi ke rumah pria itu. Ternyata, pria itu seorang pengrajin kayu. “Kau ingin belajar membuat sesuatu selain pagar bambu?” tanyanya.

Ramadhani mengangguk penuh semangat. Ia diajari membuat berbagai kerajinan dari bambu—tempat pensil, keranjang, bahkan miniatur rumah. Lambat laun, hasil karyanya semakin baik. Ia mulai menjualnya di pasar dan akhirnya, sedikit demi sedikit, ia mampu membeli makanan yang layak untuk dirinya dan Siti.

Meski jalan yang ditempuh masih panjang, Ramadhani tahu ia tidak sendiri. Kini ia memiliki harapan, dan ia berjanji tidak akan pernah menyerah.

spot_img

Gubernur Jabar Beri Kado Lebaran: Hapus Tunggakan Pajak Kendaraan Rp30 Triliun

JAKARTAMU.COM | Gubernur Jawa Barat mengumumkan kebijakan penghapusan tunggakan pajak kendaraan bermotor sebagai kado Lebaran bagi warga Jabar. Konon...

More Articles Like This