Jumat, Maret 21, 2025
No menu items!
spot_img

CERPEN: Bayangan Masa Lalu, Cahaya Masa Depan

spot_img
Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Hujan turun deras di malam yang kelam. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangan suram di genangan air yang mengalir di trotoar. Amelia Donovan, seorang wanita berusia tiga puluh lima tahun, duduk di kursi dekat jendela di apartemennya yang sunyi. Matanya menatap kosong ke luar, ke arah jalanan kota London yang tak pernah tidur.

Tahun ini adalah tahun terburuk dalam hidupnya. Ibunya, satu-satunya sosok yang selalu ada untuknya, meninggal dunia setelah sakit berkepanjangan. Tak berselang lama, suaminya, Richard, mengakui bahwa ia telah jatuh cinta pada wanita lain. Seorang wanita muda dengan senyum cerah dan kehidupan yang masih penuh warna.

Amelia tidak berteriak, tidak menangis di hadapan Richard ketika pria itu mengucapkan kata-kata perpisahan. Ia hanya menatap kosong, hatinya seolah telah membatu. Namun, di balik keheningan itu, pikirannya bergejolak, menanyakan satu hal yang tak bisa ia jawab: Apa yang salah denganku?

Di dalam rumah yang tiba-tiba terasa begitu besar dan kosong, hanya ada satu cahaya yang tersisa dalam hidupnya—Eleanor, putri kecilnya yang baru berusia tujuh tahun. Hanya karena Eleanor-lah Amelia tetap bertahan, meski setiap malam ia harus berjuang melawan air mata dan kesepian yang tak berujung.

Luka yang Mendalam

Amelia bukanlah wanita biasa. Sejak muda, ia telah menunjukkan bakat luar biasa dalam menulis. Novel-novel detektifnya telah diterbitkan dan mendapat sambutan hangat. Namun, kehilangan dua orang tercinta dalam waktu berdekatan membuatnya kehilangan gairah menulis. Jari-jarinya yang dulu lincah menari di atas mesin tik kini terasa kaku. Pikirannya kosong, tak ada satu ide pun yang ingin dituangkan ke dalam kata-kata.

Hingga suatu malam, saat ia menidurkan Eleanor, gadis kecil itu berbisik, “Ibu, kapan ibu menulis cerita lagi? Aku ingin membaca kisah-kisahmu.”

Kata-kata itu bagaikan lonceng yang membangunkannya dari tidur panjang. Amelia tersadar bahwa menulis bukan hanya soal dirinya. Ia menulis bukan hanya untuk mengejar ketenaran atau uang, tetapi karena ia mencintai dunia itu. Karena dengan menulis, ia bisa menghidupkan kembali harapan.

Ia mencoba menulis lagi, meski awalnya hanya satu paragraf dalam sehari. Lama-kelamaan, jemarinya kembali terbiasa. Namun, luka hatinya masih belum sembuh. Setiap malam, bayangan Richard menghantuinya, mengingatkannya akan pengkhianatan yang sulit dimaafkan.

Perjalanan yang Mengubah Hidup

Dalam upaya melupakan masa lalu, Amelia memutuskan melakukan perjalanan ke luar negeri. Ia menaiki kereta Orient Express, melintasi benua dengan harapan menemukan kembali dirinya yang hilang. Namun, perjalanan itu hanya memberinya jeda sesaat dari kepedihan.

Hingga suatu hari, seorang teman lama mengundangnya untuk mengunjungi situs penggalian arkeologi di Irak. Amelia hampir menolak, tetapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ini bisa menjadi awal baru.

Di sanalah ia bertemu dengan Julian Whitmore, seorang arkeolog muda yang penuh semangat. Awalnya, ia tidak terlalu memperhatikan Julian. Baginya, pria itu hanyalah salah satu dari sekian banyak orang yang ia temui dalam perjalanannya. Namun, seiring waktu, Julian menunjukkan sesuatu yang berbeda—kesabaran, pengertian, dan rasa hormat yang tulus.

Julian tidak menanyakan masa lalunya, tidak mendesaknya untuk bercerita. Sebaliknya, ia hanya menemani, mendengarkan, dan memberi ruang bagi Amelia untuk kembali menemukan dirinya sendiri.

Suatu sore, di bawah langit Irak yang berwarna jingga, Julian berkata, “Kau tahu, Amelia? Hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Tapi terkadang, jalan yang tak kita duga justru membawa kita ke tempat yang lebih baik.”

Amelia menatap pria itu, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa hatinya sedikit lebih ringan.

Cahaya Baru

Tahun-tahun berlalu. Amelia dan Julian menikah dalam sebuah pernikahan sederhana yang hanya dihadiri keluarga dan sahabat dekat. Tidak ada pesta mewah, tidak ada janji manis yang berlebihan—hanya dua hati yang saling memahami dan berjanji untuk berjalan bersama.

Pernikahan mereka penuh dengan petualangan. Amelia terus menulis, dan Julian dengan setia mendukungnya. Mereka sering bepergian, menjelajahi dunia bersama Eleanor, yang kini tumbuh menjadi gadis ceria dan penuh rasa ingin tahu.

Kesuksesan Amelia semakin berkembang. Novel-novelnya menjadi bestseller, dan ia dihormati sebagai salah satu penulis terbesar di zamannya. Namun, lebih dari itu, ia menemukan kembali kebahagiaan yang sempat hilang.

Akhir yang Indah

Pada suatu malam, saat duduk di taman rumah mereka, Amelia memandang Julian dan berkata, “Aku dulu berpikir hidupku berakhir ketika Richard pergi. Tapi ternyata, itu hanya babak baru yang harus kujalani.”

Julian tersenyum dan menggenggam tangannya erat. “Kita tidak bisa mengubah masa lalu, Amelia. Tapi kita selalu bisa menulis ulang masa depan kita.”

Malam itu, di bawah langit berbintang, Amelia menyadari bahwa hidup memang penuh luka, tetapi juga selalu memberikan kesempatan baru. Bahwa setiap kisah, betapapun kelamnya, selalu memiliki akhir yang bisa kita pilih sendiri.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Amelia benar-benar percaya bahwa kebahagiaan bisa datang setelah luka yang dalam.

spot_img

Lazismu Gandeng BCA untuk Pembayaran ZIS Warga Muhammadiyah

JAKARTAMU.COM | Lembaga Zakat, Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu) bekerja sama dengan PT Bank Central Asia (BCA) mengenai...

More Articles Like This