JAKARTAMU.COM | Malam pertama di rumah baru, Nadia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap jendela besar yang menghadap ke hutan lebat. Angin berdesir, menerbangkan dedaunan yang berguguran, menciptakan bayangan-bayangan aneh di lantai kamarnya. Rumah tua itu berderak, seolah-olah sedang menarik napas dalam keheningan malam.
“Kau baik-baik saja, sayang?” suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu.
“Iya, Bu,” jawab Nadia, meski hatinya sedikit gelisah.
Rumah ini jauh berbeda dari apartemen kecil mereka di kota. Dinding-dindingnya berlapis kayu tua yang mengeluarkan aroma lembap, dan lantainya berbunyi setiap kali diinjak. Lampu gantung antik bergoyang perlahan seiring hembusan angin yang masuk dari sela-sela jendela tua.
Hari pertama mereka di kota kecil ini dipenuhi dengan kesibukan, mulai dari menata barang-barang hingga berkenalan dengan tetangga. Seorang wanita tua bernama Ny. Helen, yang tinggal tak jauh dari rumah mereka, sempat berbincang dengan ibunya. Namun, ada sesuatu dalam sorot mata wanita itu yang membuat Nadia tidak nyaman.
“Kalian tinggal di Rumah Lilian sekarang?” tanya Ny. Helen dengan suara bergetar.
“Iya,” jawab ibu Nadia sambil tersenyum. “Rumah ini bagus, hanya butuh sedikit perbaikan.”
Ny. Helen terdiam sesaat sebelum berkata, “Kalian harus berhati-hati… Jangan pernah masuk ke kamar di ujung lorong lantai atas.”
Ibunya tertawa kecil, menganggapnya hanya takhayul orang tua. Namun, peringatan itu terpatri di benak Nadia.
Misteri Kamar Terlarang
Keingintahuan Nadia tak terbendung. Saat kedua orang tuanya tertidur, ia keluar dari kamarnya dan berjalan pelan menyusuri lorong. Cahaya bulan menyorot melalui jendela besar di ujung lorong, menerangi pintu kayu tua yang terlihat lebih usang dibandingkan pintu lainnya.
Nadia mengulurkan tangan, merasakan dinginnya kenop pintu. Dengan jantung berdebar, ia memutarnya. Pintu itu terbuka dengan mudah, tanpa suara decitan seperti pintu-pintu lain di rumah itu.
Ruangan di baliknya gelap dan berdebu. Sinar bulan menyorot ke tengah ruangan, memperlihatkan sebuah rak kayu besar yang dipenuhi boneka porselen. Wajah mereka pucat dengan mata hitam mengkilap yang seolah menatap langsung ke arahnya.
Di tengah ruangan, ada satu boneka yang berbeda. Ia duduk di atas kursi goyang kecil, mengenakan gaun biru tua dengan renda putih. Rambutnya ikal pirang, dan bibir merahnya tersenyum tipis. Ada sesuatu yang membuat Nadia merinding saat menatap boneka itu.
Tiba-tiba, suara langkah kaki bergema di lorong. Dengan panik, Nadia menutup pintu dan berlari kembali ke kamarnya.
Bisikan dalam Kegelapan
Malam berikutnya, Nadia terbangun karena suara bisikan halus. Matanya membuka perlahan, dan ia menahan napas ketika melihat sesuatu di sudut kamarnya.
Boneka porselen bergaun biru itu ada di sana. Duduk di atas meja belajar, menatapnya dengan mata hitam yang kosong.
Jantung Nadia berdegup kencang. Ia yakin telah meninggalkan boneka itu di kamar terlarang.
Angin bertiup kencang di luar, membuat cabang pohon menampar-nampar jendela. Dengan tangan gemetar, ia menarik selimut hingga menutupi wajahnya.
“Jangan takut…” bisik suara halus.
Nadia mematung. Itu bukan suara angin. Itu suara seorang gadis kecil.
Dengan sangat perlahan, ia menarik selimutnya turun dan melihat boneka itu telah berdiri di lantai.
Mata boneka itu berkedip.
Nadia menahan teriakannya. Ia merangkak ke ujung tempat tidur, tak mampu mengalihkan pandangannya dari boneka yang kini mulai melangkah pelan ke arahnya.
“Aku Lilian,” kata boneka itu.
Nadia mencengkeram pinggiran selimutnya, keringat dingin membasahi pelipisnya.
“Jangan takut padaku,” lanjut boneka itu dengan suara lembut.
Nadia akhirnya menemukan suaranya, meski terdengar serak, “Ka-kamu… siapa?”
“Aku pemilik rumah ini, dulu sekali… tapi aku tak bisa pergi.”
Rahasia Lilian
Ketakutan Nadia perlahan berubah menjadi rasa ingin tahu. Ia mendengar kisah Lilian—seorang gadis kecil yang tinggal di rumah itu lebih dari seratus tahun lalu. Lilian sakit parah dan meninggal di kamar itu, meninggalkan jiwanya yang terjebak dalam boneka porselen kesayangannya.
“Aku hanya ingin berteman,” kata Lilian. “Aku kesepian di sini.”
Sejak malam itu, Nadia dan Lilian sering berbincang. Boneka itu akan muncul setiap malam, duduk di meja belajar atau di tepi tempat tidur.
Namun, semakin lama Nadia mengenalnya, semakin ia menyadari sesuatu yang mengerikan.
Lilian tak sekadar ingin berteman. Ia ingin lebih.
“Aku ingin tubuhmu,” kata Lilian suatu malam. “Agar aku bisa hidup kembali.”
Darah Nadia berdesir. Ia mundur perlahan, namun pintu kamar tiba-tiba menutup sendiri.
“Jangan takut, ini hanya sebentar…” Suara Lilian berubah lebih dingin.
Nadia berteriak, berusaha membuka pintu, tapi tak bisa. Lilian kini melayang di udara, tubuh porselennya berpendar dalam cahaya kehijauan.
“Pilihannya sederhana,” bisik Lilian. “Kamu pergi… atau aku yang mengambil tubuhmu.”
Nadia menjerit sekuat tenaga.
Penyelamatan di Detik Terakhir
Teriakannya membangunkan kedua orang tuanya. Ayahnya menerobos masuk, menemukan Nadia terbaring di lantai, gemetar. Boneka itu kembali ke posisi semula, duduk dengan tenang di meja belajar.
Ny. Helen dipanggil ke rumah, dan saat melihat boneka itu, wajahnya memucat.
“Kalian harus membuangnya,” katanya. “Ini bukan boneka biasa. Ini kutukan.”
Dengan cepat, boneka itu dimasukkan ke dalam peti kayu dan dikubur di belakang rumah. Saat tanah terakhir menutupi peti itu, angin bertiup kencang, seakan menjerit.
Sejak hari itu, Nadia tak pernah melihat boneka itu lagi.
Namun, saat malam tiba, ia masih bisa mendengar bisikan halus di telinganya.
“Aku akan kembali…”