Di sebuah kota kecil yang dikelilingi perbukitan, hiduplah sepasang kekasih bernama Rara dan Ardi. Mereka bertemu di sebuah toko buku, di mana Rara bekerja sebagai penjaga kasir dan Ardi adalah pelanggan setia yang selalu datang untuk membeli novel-novel klasik. Pertemuan mereka seperti bunga yang baru saja mekar, penuh dengan keindahan dan harapan. Ketertarikan awal mereka tumbuh menjadi cinta yang perlahan-lahan berkembang, layaknya bunga yang membutuhkan waktu untuk menunjukkan keindahannya.
Awalnya, hubungan mereka dipenuhi dengan momen-momen romantis. Ardi sering mengirimkan pesan-pesan manis di pagi hari, seperti, “Selamat pagi, bunga hatiku. Semoga harimu cerah seperti senyummu.” Rara pun tak kalah romantis. Ia sering menyiapkan bekal makan siang untuk Ardi, lengkap dengan catatan kecil bertuliskan, “Untukmu, yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga.” Mereka menghabiskan waktu bersama di kafe kecil, berjalan-jalan di taman, atau sekadar duduk berdua sambil membaca buku. Setiap momen bersama terasa seperti kelopak bunga yang mekar satu per satu, menciptakan rangkaian keindahan yang tak terlupakan.
Namun, seiring berjalannya waktu, kesibukan mulai menggerogoti waktu mereka. Ardi, yang bekerja sebagai insinyur, sering pulang larut malam karena proyek-proyeknya. Rara, yang sedang mengejar gelar master, juga sibuk dengan tugas-tugas kuliah dan penelitian. Momen romantis yang dulu sering mereka nikmati mulai berkurang. Bunga cinta mereka, yang dulu mekar indah, mulai menunjukkan tanda-tanda layu.
Suatu malam, Rara duduk di teras rumahnya, memandangi bunga-bunga di pot kecil yang ia rawat bersama Ardi. Bunga-bunga itu dulu selalu mekar dengan indah, tetapi kini beberapa di antaranya mulai layu karena kurang perhatian. Rara teringat pada hubungannya dengan Ardi. “Apakah cinta kita juga seperti bunga-bunga ini?” pikirnya dengan perasaan sedih.
Keesokan harinya, Rara memutuskan untuk berbicara dengan Ardi. Mereka duduk di kafe favorit mereka, tempat di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama. “Ardi, aku merasa kita mulai menjauh. Aku rindu momen-momen romantis kita dulu,” kata Rara dengan suara lembut.
Ardi menghela napas. “Aku tahu, Rara. Aku juga merasa begitu. Tapi, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Kesibukan kita membuat segalanya terasa sulit.”
Rara tersenyum kecil. “Mungkin kita perlu merawat cinta kita seperti merawat bunga. Memberinya pupuk, air, dan sinar matahari yang cukup.”
Ardi mengangguk, tersenyum. “Kau benar. Aku lupa bahwa cinta butuh perawatan, bukan hanya perasaan.”
Mereka pun mulai merencanakan langkah-langkah kecil untuk merawat kembali cinta mereka. Ardi mulai mengirimkan pesan-pesan manis lagi, seperti dulu. Rara pun kembali menyiapkan bekal makan siang untuk Ardi, meski hanya sesekali. Mereka juga mencoba hal-hal baru bersama, seperti mengikuti kelas memasak atau pergi ke tempat-tempat baru di akhir pekan. Setiap tindakan kecil itu seperti pupuk yang menyuburkan kembali cinta mereka.
Suatu hari, Ardi pulang dengan membawa sebuah hadiah kecil untuk Rara. “Ini untukmu,” katanya sambil menyerahkan sebuah buku puisi. Rara membuka buku itu dan menemukan catatan kecil di dalamnya: “Untuk Rara, bunga hatiku yang selalu mekar di hatiku.” Rara tersenyum bahagia. “Terima kasih, Ardi. Ini sangat berarti bagiku.”
Mereka juga mulai meluangkan waktu berkualitas bersama tanpa gangguan. Setiap malam, mereka menyisihkan waktu untuk berbicara tentang hari mereka, berbagi cerita, dan mendengarkan satu sama lain. Komunikasi terbuka dan jujur menjadi kunci untuk memahami perasaan masing-masing. Mereka juga belajar mengatasi konflik dengan cara yang sehat, tidak membiarkan masalah menumpuk dan merusak hubungan mereka.
Suatu sore, mereka duduk di taman, menikmati matahari terbenam. Rara memegang tangan Ardi dan berkata, “Aku senang kita bisa merawat cinta kita seperti ini. Aku merasa kita semakin dekat lagi.”
Ardi menatap Rara dengan penuh kasih sayang. “Aku juga, Rara. Cinta kita seperti bunga yang kembali mekar setelah layu. Aku berjanji akan terus merawatnya, agar kita selalu bahagia bersama.”
Mereka pun berpelukan, merasakan kehangatan cinta yang telah mereka rawat dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Bunga-bunga cinta mereka, yang sempat layu, kini kembali mekar dengan indah, lebih indah dari sebelumnya.
Di bawah langit jingga yang memancarkan kehangatan, Rara dan Ardi berdiri di tengah taman, dikelilingi oleh bunga-bunga yang mekar sempurna. Mereka saling memandang, mata mereka berbinar-binar penuh cinta. Ardi mengeluarkan sebuah cincin dari saku bajunya dan berlutut di depan Rara. “Rara, bunga hatiku, maukah kau menikah denganku? Aku ingin merawat cinta kita selamanya, seperti kita merawat bunga-bunga ini.”
Rara menitikkan air mata bahagia. “Ya, Ardi. Aku mau. Aku ingin kita terus merawat cinta kita, agar selalu mekar seperti bunga-bunga ini.”
Mereka berpelukan erat, merasakan kebahagiaan yang tak terhingga. Bunga-bunga cinta mereka, yang telah mereka rawat dengan penuh kasih sayang, kini mekar dengan sempurna, menandai awal dari babak baru dalam hidup mereka. (Dwi Taufan Hidayat, Sekretaris Korp Alumni PW IPM/IRM Jawa Tengah)