Senin, Februari 24, 2025
No menu items!

Cerpen: Cahaya yang Padam

Must Read

PAK HARUN duduk di teras rumahnya, menatap jalanan kampung yang semakin ramai oleh kendaraan berlalu-lalang. Angin sore mengusap wajahnya yang penuh garis kehidupan. Di tangannya, secangkir kopi mengepul, tetapi tak lagi ia seruput. Pikirannya melayang jauh, seolah mencari sesuatu yang telah lama hilang.

Dulu, ia adalah sosok yang dihormati di kampung ini. Sebagai seorang guru, ia mendidik anak-anak dengan penuh kasih, menanamkan nilai-nilai yang membuat mereka tumbuh menjadi orang-orang yang bertanggung jawab. Tetapi, setelah pensiun beberapa tahun lalu, banyak yang berubah. Ia merasa keberadaannya semakin dilupakan, dan perlahan-lahan hidupnya seperti kehilangan warna.

Di seberang jalan, seorang pria paruh baya dengan wajah keras dan sorot mata tajam berjalan menuju warung. Namanya Mahdi, seorang pedagang yang kini menjadi orang paling berpengaruh di kampung. Berbeda dengan Pak Harun yang dihormati karena ilmunya, Mahdi dikenal karena kekayaannya. Ia menguasai tanah dan banyak usaha di desa, dan tak segan menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang lain.

“Pak Harun, masih kuat duduk di luar sore-sore begini?” ucap Mahdi dengan nada setengah mengejek ketika melewati rumah Pak Harun.

Pak Harun hanya tersenyum tipis. “Angin sore masih terasa sejuk, Mahdi. Membantu hati tetap tenang.”

Mahdi mendengus. Baginya, ketenangan itu ada dalam kekayaan dan kekuasaan. Ia percaya bahwa dunia ini milik mereka yang berani merebutnya, bukan mereka yang hanya duduk dan mengenang masa lalu.

Malam itu, Pak Harun merenung di kamar kecilnya. Di rak kayu yang mulai berdebu, tersusun buku-buku tua yang dulu menjadi sahabatnya. Cahaya lampu temaram menyinari ruangan, membuat bayangannya tampak rapuh di dinding.

Ia teringat murid-muridnya yang dulu sering datang ke rumahnya untuk bertanya tentang pelajaran atau sekadar mendengarkan petuahnya. Sekarang? Mereka telah tumbuh, sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Tidak ada lagi yang datang menanyakan kabar, tidak ada lagi suara anak-anak yang dulu memanggilnya dengan penuh hormat.

Di luar, suara Mahdi terdengar nyaring di warung sebelah. Ia sedang membicarakan proyek barunya—membangun pasar modern yang akan menggusur beberapa rumah warga, termasuk rumah Pak Harun.

“Pemerintah sudah setuju! Kampung ini harus maju! Siapa yang tidak setuju, silakan angkat kaki!” kata Mahdi dengan penuh keyakinan.

Pak Harun menatap langit-langit kamarnya. Sebuah perasaan yang tak ia pahami menghimpit dadanya. Ia bukan takut kehilangan rumahnya, tetapi lebih pada kesadaran bahwa dirinya tidak lagi memiliki tempat di dunia yang terus berubah ini.

Hari berganti, dan rencana Mahdi semakin nyata. Rumah-rumah mulai dibongkar, tanah dijual, dan orang-orang memilih mengalah. Tapi, Pak Harun tetap di rumahnya. Ia duduk di teras, mengamati orang-orang yang lalu-lalang, seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang.

Suatu sore, seorang pemuda datang menghampiri. Namanya Rizal, salah satu muridnya yang dulu sangat ia banggakan. Kini ia bekerja di kota, tetapi baru kembali setelah mendengar kabar bahwa rumah gurunya akan digusur.

“Pak Harun, kenapa tidak melawan?” tanya Rizal.

Pak Harun tersenyum lemah. “Melawan siapa, Nak? Waktu? Kehidupan? Atau diriku sendiri?”

Rizal terdiam. Ada kesedihan dalam suara Pak Harun, tetapi juga ada kelelahan yang mendalam.

Di tempat lain, Mahdi semakin larut dalam ambisinya. Ia semakin kaya, semakin berkuasa, tetapi juga semakin sering merasa gelisah. Malam-malamnya tidak lagi tenang. Ada sesuatu yang kosong di dalam dirinya, sesuatu yang bahkan uang dan kekuasaan tak mampu mengisinya.

Malam itu, angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Di teras rumahnya, Pak Harun duduk dengan mata terpejam. Tubuhnya tampak tenang, seperti seseorang yang akhirnya menemukan kedamaian setelah sekian lama mencari.

Esok paginya, warga menemukan Pak Harun telah pergi untuk selamanya. Ia meninggal dalam tidur, dengan wajah yang damai.

Berita itu menyebar cepat. Mahdi, yang mendengarnya di tengah kesibukannya, tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang ikut padam bersama kepergian Pak Harun.

Ketika pemakaman berlangsung, matahari bersinar terik. Namun, di hati banyak orang, ada perasaan dingin yang menggantung. Mereka menyadari sesuatu—Pak Harun tidak pernah benar-benar tua karena jiwanya tetap terang, bahkan di saat dunia perlahan melupakannya.

Sementara Mahdi, meski masih muda dan berkuasa, mulai merasakan sesuatu yang ia takuti selama ini. Cahaya dalam dirinya perlahan meredup, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar tua. (Dwi Taufan Hidayat)

Ancaman Kekeringan Global 2025: Realitas, Prediksi, dan Langkah Antisipasi

JAKARTAMU.COM | Kekeringan adalah salah satu ancaman global yang semakin meningkat akibat perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang...

More Articles Like This