Sabtu, Maret 1, 2025
No menu items!

CERPEN: Cinta dalam Jebakan

Must Read

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

Hujan turun deras, menghantam aspal dengan suara ritmis yang melankolis. Fajar duduk di dalam mobilnya, memandangi layar ponselnya yang bergetar pelan. Nama “Laras” tertera di layar. Ia menghela napas sebelum akhirnya mengangkatnya.

“Sayang, kamu di mana?” Suara lembut itu menyusup ke telinganya, membuat hatinya bergetar sesaat.

“Di parkiran, habis meeting. Ada apa?” jawab Fajar dengan nada datar.

“Kamu sibuk nggak? Aku kangen,” suara Laras terdengar manja, seperti biasa.

Fajar terdiam sejenak. Beberapa bulan lalu, mendengar kata-kata itu sudah cukup untuk membuatnya langsung meluncur ke apartemen Laras. Tapi malam ini, ia hanya menyandarkan kepalanya ke kursi mobil, menatap titik hujan di kaca depan.

“Kita ketemu besok aja ya, aku capek,” ucapnya singkat.

Ada jeda sebelum Laras menjawab. “Oh… yaudah, kalau kamu nggak mau ketemu.”

Fajar bisa merasakan nada kekecewaan dalam suaranya. Dulu, ia akan merasa bersalah. Tapi kini, ia hanya tersenyum tipis. Ia belajar banyak dari Laras.

Fajar jatuh cinta pada Laras di pertemuan pertama. Wanita itu memiliki segala yang diinginkan pria—paras cantik, kecerdasan, dan pembawaan yang anggun. Mereka bertemu di sebuah acara networking bisnis, dan sejak saat itu, dunia Fajar mulai berputar di sekitar Laras.

Awalnya, hubungan mereka terasa sempurna. Laras selalu mendukungnya, membuatnya merasa istimewa, dan memberikan kehangatan yang selama ini ia cari. Tapi perlahan, Fajar mulai menyadari sesuatu.

Laras tidak pernah benar-benar miliknya.

Setiap kali Fajar menunjukkan keseriusan, Laras selalu memiliki alasan untuk menunda pembicaraan tentang masa depan mereka. Ketika Fajar memberi lebih, Laras menuntut lebih banyak. Ia tidak pernah melihat cinta Fajar sebagai sesuatu yang berharga. Baginya, Fajar hanyalah salah satu pilihan yang ia pertimbangkan.

Suatu malam, Fajar melihat sesuatu yang mengubah cara pandangnya.

Mereka sedang makan malam di restoran favorit mereka. Laras sibuk dengan ponselnya, senyum tipis terukir di wajahnya. Fajar melirik layar itu sekilas saat Laras mengetik. Sebuah nama pria lain muncul di layar.

“Siapa itu?” tanya Fajar, berusaha terdengar santai.

Laras mengangkat alis. “Hanya teman. Kenapa? Kamu cemburu?”

Fajar tersenyum. “Nggak. Aku cuma penasaran.”

Ia tidak ingin bertanya lebih jauh. Saat itu ia menyadari sesuatu yang penting—Laras menjaga pilihannya tetap terbuka.

Malam itu, sesuatu dalam diri Fajar berubah.

Ia berhenti berusaha keras untuk Laras.

Jika Laras membalas pesannya satu jam kemudian, ia akan membalasnya tiga jam kemudian. Jika Laras mengajaknya bertemu, ia akan menundanya. Jika Laras tampak sibuk dengan pria lain, ia akan tersenyum dan berbicara dengan wanita lain.

Awalnya, Laras tidak menyadarinya. Tapi ketika Fajar mulai bersikap lebih cuek, ia mulai merasa ada yang berbeda.

Suatu hari, Laras meneleponnya, suaranya terdengar gugup. “Kamu sibuk?”

Fajar sedang di sebuah lounge, menikmati minuman bersama seorang wanita yang baru dikenalnya. Ia menatap layar ponselnya dan tersenyum.

“Sedikit. Ada apa?” tanyanya santai.

“Aku… cuma mau ketemu. Udah lama kita nggak habiskan waktu bareng.”

Dulu, Fajar akan langsung meluncur menemui Laras. Tapi kini, ia hanya menatap wanita di depannya, lalu kembali ke ponselnya.

“Mungkin besok ya, aku ada urusan malam ini.”

Laras terdiam sesaat. “Oh… baiklah.”

Fajar menutup telepon dan kembali tersenyum pada wanita di depannya. Ia belajar sesuatu—wanita bertindak romantis, tetapi mereka realis dalam cinta. Dan pria yang bodoh adalah mereka yang berpikir wanita akan mencintai mereka dengan tulus tanpa syarat.

Laras semakin gelisah seiring waktu. Ia mulai menyadari bahwa Fajar tidak lagi mengejarnya seperti dulu.

Suatu malam, ia akhirnya mengutarakan kegelisahannya.

“Kamu berubah, Fajar.”

Mereka duduk di balkon apartemen Laras. Angin malam berembus lembut.

Fajar menyesap kopinya. “Berubah gimana?”

“Kamu nggak seperti dulu. Dulu kamu selalu ada buat aku. Sekarang aku harus cari kamu duluan.”

Fajar tersenyum tipis. “Dulu aku berpikir kamu adalah satu-satunya wanita yang bisa membuatku bahagia. Sekarang aku sadar, aku juga bisa bahagia tanpamu.”

Laras menatapnya, matanya bergetar. “Jadi… kamu nggak sayang aku lagi?”

Fajar memiringkan kepalanya, berpura-pura berpikir. “Mungkin aku masih sayang. Tapi sayangku nggak lagi buta.”

Laras terdiam. Untuk pertama kalinya, ia yang merasa tidak aman.

Beberapa bulan kemudian, Laras mengirim pesan panjang.

“Aku rindu kita, Fajar. Aku sadar, aku mencintaimu. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”

Fajar membaca pesan itu, lalu menatap wanita yang berbaring di sampingnya. Ia tersenyum tipis, lalu mengetik balasan.

“Maaf, aku sedang sibuk. Semoga kamu bahagia.”

Laras membaca pesan itu, dan saat itulah ia menyadari sesuatu yang menyakitkan—ia baru benar-benar menginginkan Fajar ketika Fajar sudah tidak menginginkannya lagi.

Namun, keironisan itu tak berhenti di situ.

Di tempat lain, di dalam kamarnya yang gelap, Fajar menatap layar ponselnya yang kosong. Tak ada notifikasi dari Laras lagi. Ia menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam.

Ia menang dalam permainan ini, tetapi mengapa hatinya terasa kosong?

Fajar meneguk sisa kopi di mejanya. Dingin. Sama seperti perasaannya saat ini.

Ia telah belajar untuk tidak lagi mencintai secara buta. Tapi kini, ia bertanya-tanya, apakah hatinya masih bisa mencintai lagi?

Mungkin, ini adalah harga yang harus ia bayar.

Ironis.

Pemerintah Kembali Tambah Utang, Ekonom Ingatkan Risiko Fiskal

JAKARTAMU.COM | Pemerintah kembali menambah utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) pada awal tahun ini. Data Kementerian Keuangan...

More Articles Like This